Mempelajari studi politik internasional setelah Perang Dingin membuat penstudi memiliki pilihan untuk menekuk sejarah politik kekuatan besar yang mewarnai Perang Dunia hingga Perang Dingin. Inilah kemewahan yang membuat penstudi politik internasional hari ini, seperti penulis, untuk mengkaji isu-isu yang lebih emansipatoris.
Salah satu buku pertama yang penulis baca di perpustakaan kampus adalah Masalah Negara Berkembang: Suatu Kajian Ekonomi-Politik Internasional oleh Teuku May Rudy. Buku ini menjadi pemantik ketertarikan penulis pada kajian kebangkitan negara-negara Selatan.
Semangat emansipatoris yang diletakkan dalam dinamika studi politik internasional paska Perang Dingin membuat studi ini lebih membumi terutama bagi penstudinya di luar Barat.
Ada banyak istilah yang merujuk pada pembagian karakteristik negara-negara di dunia. Pembagian antara Utara dan Selatan merupakan salah satu yang paling sering digunakan dalam kajian ini. Utara dan Selatan merujuk pada konsepsi geografis dimana negara-negara bagian Utara dunia pada umumnya adalah negara maju. Sedangkan bagian Selatan adalah negara berkembang dan miskin. Tentu saja ada beberapa pengecualian di dalamnya.
Buku tipis di atas memberikan pengantar yang memudahkan penstudi untuk memahami bagaimana pembagian tersebut bekerja. Namun, yang paling penting dalam pembagian ini merupakan fiturnya: ketimpangan.
Sebagai bentuk ketimpangan, penstudi bisa melihatnya dalam proses gerak sejarah dan ekonomi-politik alih-alih sesuatu yang terberi.
Merujuk pada buku di atas, titik tolak kemajuan negara Utara bermula dari terobosan revolusi industri yang terjadi di Eropa pada abad ke-18. Sejak saat itu, negara Utara merasakan ledakan kemakmuran. Namun, ledakan kemakmuran yang dirasakan oleh negara Utara tidak dapat dilepaskan oleh kolonialisme, yang menjadi motor penggeraknya.
Buku ini membagi pengaruh negara Utara terhadap Selatan dalam tiga periode. Untuk menjelaskan periode pertama dan kedua sekaligus memberikan kejelasan dalam analisis historis, penulis menggunakan istilah Barat alih-alih negara Utara. Sebab, periode pertama, yakni masa praktik merkantilisme dan periode kedua, kolonialisme, merupakan usaha kekuatan kolonial di Eropa dan Jepang. Baru pada masa ketiga, yakni imperialisme ekonomi pasca Perang Dunia II, pembagian negara Utara dan Selatan lebih tepat untuk digunakan.
Periode Merkantilisme ditandai oleh pelaksanaan merkantilisme sebagai praktik perdagangan internasional. Apa yang dimaksud dengan merkantilisme itu sendiri adalah praktik ekonomi yang mempromosikan kepentingan kekuatan nasional lewat perdagangan. Praktik ini menjadi konsekuensi dari persaingan antar kekuatan kolonial di Eropa dan meletakkan pondasi awal bagi kolonialisme.
Periode kolonialisme melanjutkan dominasi ekonomi dan perdagangan sebelumnya menjadi dominasi politik dan sosial. Kekuatan kolonial menggunakan penaklukan wilayah di Asia, Afrika, dan Amerika Latin untuk menghasilkan dan mencukupi komoditas perdagangan mereka.
Proses penghisapan sumber daya wilayah jajahan dilakukan dengan menaklukan penguasa lokal dan mengubah sistem sosial, politik, dan ekonominya.
Setelah proses dekolonialisasi secara bertahap memerdekakan negara-negara di Asia, Afrika, dan Amerika Latin. Hubungan antara keduanya masih tetap timpang. Meskipun banyak negara memperoleh kemerdekaan politik, bukan berarti mereka mengalami kemerdekaan ekonomi. Periode inilah yang digambarkan sebagai imperialisme ekonomi.
Proses penghisapan sumber daya dalam periode kolonialisme menciptakan struktur ekonomi-politik yang menyulitkan upaya pertumbuhan dan pembangunan ekonomi pada negara-negara bekas jajahan. Meminjam tesis dari Acemoglu dan Robinson, kolonialisme telah mewariskan institusi ekonomi-politik ekstraktif yang mempersulit kemakmuran. Oleh karenanya, hubungan ekonomi-politik antara negara Utara dan Selatan tak akan pernah setara.
Meskipun ketimpangan adalah fitur utama dalam memahami hubungan negara Utara dan Selatan. Bukan berarti tidak ada jalan keluar untuk mencapai pertumbuhan dan pembangunan bagi negara-negara bekas jajahan. Beberapa dekade terakhir, penstudi ekonomi-politik internasional melihat bangkitnya negara-negara berkembang menjadi kekuatan ekonomi baru di kawasan maupun global.
Ada beberapa istilah yang mencoba memahami kebangkitan ini seperti the rise of the rice; the rise of the rest; hingga BRIC (Brazil, Rusia, India, dan Tiongkok) yang kemudian menjadi organisasi internasional resmi.
Dekade-dekade keemasan ini membawa tingkat pertumbuhan dan pembangunan ekonomi yang belum pernah terjadi sebelumnya di negara-negara Selatan. Beberapa mengasosiasikan kebangkitan ini dengan perdagangan bebas, faktor Tiongkok, dan lonjakan harga bahan baku.
Dengan adanya kebangkitan yang liyan, pertanyaan selanjutnya bagi penstudi ekonomi-politik internasional adalah bagaimana konsekuensi politik dari kebangkitan ini?; bagaimana kekuasaan status-quo melihat kebangkitan ini?; dan apakah hubungan yang timpang tidak lagi menjadi relevan dalam menjelaskan kebangkitan ini?