Dalam ceramahnya di atas, Barry Buzan, seorang pemikir utama studi Hubungan Internasional (HI) dari aliran pemikiran English School, mengajukan konsepsinya tentang dunia setelah Perang Dingin. Argumen utamanya adalah dunia akan menjadi lebih beragam, kompleks, dan multipolar, tanpa ada lagi negara superpower atau kekuasaan hegemonik.

Buzan juga berkontribusi besar dengan menawarkan pandangan baru terkait kelahiran studi HI. Bagi Buzan, kelahiran HI merentang jauh sebelum Perang Dunia I. Peristiwa Perang Dunia I yang dianggap sebagai “titik balik” studi HI tidak sepenuhnya salah, tetapi tidak lengkap. Menurutnya, pandangan tersebut berfokus pada distribusi kekuasaan tanpa melihat bagaimana modus kekuasaan yang mendasarinya muncul. Pandangan itu terlalu fokus pada perang dan dampaknya tanpa mengkaji perkembangan sosial yang menyebabkan perang terjadi. Dan yang paling penting adalah mereka menghilangkan serangkaian transformasi politik, ekonomi, dan sosial yang terjadi di abad ke-19 yang menjadi fitur utama dalam hubungan antar negara modern.

Argumennya didasarkan pada buku yang ia tulis bersama George Lawson berjudul "The Global Transformation: History, Modernity and the Making of International Relations." Argumen Buzan dibangun atas penalaran historis dari apa yang terjadi pada abad ke-19 yaitu transformasi global (Global Transformation).

Transformasi global ini merubah dunia secara fundamental dan menciptakan tatanan dunia modern yang kita nikmati hingga saat ini. Ia mengubah struktur dasar tatanan internasional yang melibatkan revolusi industri, negara-bangsa, organisasi internasional hingga kelahiran ideologi-ideologi kemajuan seperti kapitalisme, liberalisme, sosialisme, nasionalisme, marxisme, dan lain sebagainya. Transformasi global yang saling terhubung dan berinteraksi satu dengan lainnya ini menandai lahirnya studi HI seperti yang kita kenal sekarang.

Tetapi, transformasi ini terjadi secara tidak merata, hal ini mengubah distribusi kekuasaan dengan menghasilkan pergeseran dari tatanan dunia polisentris tanpa pusat kekuatan dominan ke tatanan negara pusat dan pinggiran (periferi) yang pusat gravitasinya berada di Barat.

Kekuatan-kekuatan yang menjalani transformasi politik, ekonomi dan budaya yang luas mempunyai keuntungan yang sangat besar dibandingkan dengan kekuatan yang tidak mengalaminya. Meskipun pergeseran kekuatan bukanlah hal yang baru dalam sejarah umat manusia, transformasi global memungkinkan sumber daya yang semakin luas, sehingga kesenjangan kekuatan menjadi jauh lebih besar. Selain menandai pergeseran distribusi kekuasaan, transformasi global juga mengubah kapabilitas material dari kekuasaan yang mendorong munculnya modernitas global.

Kekuasaan-kekuasaan di Eropa Barat yang mengalami revolusi modernitas menjadikannya sebagai pusat tatanan dan mendominasi seluruh wilayah lainnya yang berada dalam pinggiran tatanan. Namun, secara perlahan beberapa kekuasaan lain di luar Eropa Barat mempelajari revolusi modernitas untuk memperoleh kapabilitas material serupa. Setelah Inggris, Perancis, Jerman, dan Amerika Serikat yang tidak jauh setelahnya berkembang menjadi kekuasaan besar di pusat tatanan pada akhir abad ke-19. Jepang yang berada jauh dari gravitasi revolusi modernitas menjadi satu-satunya kekuasaan non-Barat pada periode ini yang berhasil mempelajari resep modernitas dengan cepat dan menjadi kekuatan besar. Rusia bergerak dengan lambat hingga akhirnya mampu berada dalam pusat tatanan.

Sejak akhir abad ke-19 hingga abad ke-20, tidak ada perubahan yang signifikan pada distribusi kekuasaan kekuatan-kekuatan besar dalam tatanan dunia. Sejumlah kecil kekuasaan tetap mendominasi sebagian besar wilayah dunia. Tatanan yang dihasilkan oleh transformasi yang tidak merata mengkonsentrasikan kapabilitas materil pada sebagian kecil kekuasaan yang menghasilkan kesenjangan yang besar.

Menjelang akhir abad ke-20, tepatnya setelah Perang Dingin berakhir, transformasi global masuk pada periode baru. Negara-negara pusat tatanan semakin tersebar dan negara-negara periferi menyusut. Hal itu diakibatkan oleh revolusi modernitas yang semakin meluas. Buzan melihat kecenderungan yang terus berlanjut ini pada dunia pasca-Perang Dingin yang semakin beragam, kompleks, dan multipolar yang akan menghilangkan negara superpower atau kekuasaan hegemonik.

Buzan meminjam istilah “The Rise of the Rest” yang dipopulerkan oleh Fareed Zakaria untuk menggambarkan konfigurasi tatanan dunia yang akan dihadapi pada abad ke-21. Zakaria melihat pertumbuhan pesat dari negara-negara seperti Tiongkok, India, Brazil, Rusia, dan lainnya yang kini menjadi aktor utama di dalam kawasan dan global. Artinya, revolusi modernitas yang tadinya begitu terkonsentrasi kini mulai menyebar luas. Tentu saja masih ada beberapa tempat di dunia yang belum menemukan cara untuk menerima modernitas dan oleh karena itu tidak memiliki akses terhadap kekuasaan dan kekayaan yang dihasilkannya.

Buzan menjelaskan beberapa implikasi yang mungkin akan terjadi pada dunia pasca-Perang Dingin yang ia bayangkan. Pertama, tentu saja adanya konfigurasi baru yang semakin menjauhi distribusi kekuatan yang tidak merata. Kedua, ia mengatakan bahwa kondisi ini tidak akan membawa dunia pada perdamaian sepenuhnya tetapi tidak juga pada Perang Dunia antar negara-negara pusat tatanan. Kondisi-kondisi yang menciptakan perang antar kekuasaan besar di Perang Dunia relatif tidak ada lagi.

Kondisi tahun 1930-an sebelum meletusnya Perang Dunia II sangat berbeda dengan kondisi hari ini. Fasisme yang berakar dari rasialisme ditolak sebagai pandangan dunia. Imperium telah digantikan oleh negara-bangsa yang demokratis secara umum. Merkantilisme tidak lagi menjadi sistem ekonomi dominan. Dan tentu saja tidak ada lagi persaingan ideologi-ideologi yang berakhir setelah Perang Dingin. Senjata nuklir tetap akan menjadi alat deterrence dan tabu untuk digunakan. Semua orang paham bahwa tidak ada pemenang dalam perang nuklir.

Ketiga, kapitalisme menjadi sesuatu yang tak terelakkan untuk meraih modernitas. Berakhirnya Perang Dingin juga menandai kemenangan demokrasi-liberal sebagai cara mengatur ekonomi-politik. Kapitalisme dianggap sebagai satu-satunya cara untuk dapat menghasilkan kekuasaan dan kekayaan. Semua negara kini terlibat dalam permainan dengan berbagai jenis kapitalisme yang sedang berkembang. Negara-negara Skandinavia menggunakan kapitalisme dengan kebijakan-kebijakan sosial mereka, Tiongkok dan Rusia menggunakan model kapitalisme terpusat dengan pemerintahan otoriter, India, Brazil dan negara-negara lain akan mengeksplorasi bentuk kapitalisme yang terbaik mencapai tujuan. Terakhir, kemungkinan besar akan disrupsi terhadap tatanan dunia akan bersumber dari aktor non-negara atau bahkan virus sekalipun.

Dalam studi HI, perubahan ini memiliki beberapa implikasi. Pertama, penstudi HI harus memikirkan kembali teori dan konsep yang bersumber dari pandangan dunia pada abad-19 hingga 20. Kedua, kita harus lebih awas dan sadar bahwa konteks historis dan sosial dari politik global bukanlah sesuatu yang terberi atau tidak dapat dihindari. Ketiga, kita perlu lebih terbuka terhadap perspektif dan suara alternatif dari berbagai wilayah dan budaya. Keempat, kita perlu lebih memperhatikan tantangan dan peluang tata kelola global yang semakin rumit.

***

Bacaan Selanjutnya:

Barry Buzan and George Lawson, “The Global Transformation: History, Modernity and the Making of International Relations,” in The Global Transformation: History, Modernity and the Making of International Relations (Cambridge: Cambridge University Press, 2015), 1-30