Americans...if you keep this way of thinking that you are the best and you know everything. It won’t work.
Dalam bukunya The Post-American World, Fareed Zakaria yang mahfum soal politik internasional melihat kemerosotan AS di percaturan dunia. Ia memberikan analogi untuk memotret pergeseran ini. Misalnya, “…bangunan tertinggi di dunia kini terletak di Dubai; pabrik-pabrik terbesar sejagat berdiri di Tiongkok; Hongkong menjadi sentra keuangan baru dunia; Uni Emirat Arab menyumbang investasi terbesar di dunia”.
Pergeseran inilah yang juga dipotret oleh Michael Moore dalam dokumenternya berjudul Where to Invade Next (2015). Namun, berbeda dengan Zakaria yang lebih menyoal situasi global dalam pergeseran ini, Moore menghadirkan sinema yang lebih dekat dengan kehidupan sehari-hari dalam melihat ketertinggalan AS, lewat tema-tema seperti hak-hak pekerja, pajak, pendidikan, dan kesetaraan gender.
Moore memulai narasinya dengan guyonan tentang superioritas kekuatan militer AS daripada negara-negara lain.
“They regretted having wasted trillions of dollars and helping to create new groups like ISIS. They admitted that what they got from these wars was just...more war. They couldn't even get us the oil they promised us from Iraq. They felt embarrassed, humiliated.”
Tidak ada yang mampu menandingi kekuatan militer AS sejak Perang Dingin berakhir. Superioritas itu membuat mereka mampu melakukan apapun dan dimanapun. Mereka mampu menjadi globocop hingga menginvasi negara lain dengan pesawat nirawak dan bom nuklir.
Kekuatan militer tak akan bisa dilepaskan dari fungsinya sebagai alat imperialisme. AS memiliki sejarah panjang imperialismenya sendiri setelah menjadi pemenang dalam Perang Dunia II. Ada berbagai faktor yang mendorong imperialisme AS: doktrin-doktrin ekspansionis dan imperialis hingga ketakutan terhadap komunisme.
Setelah Perang Dunia II, AS banyak meninggalkan jejak di berbagai belahan dunia: membentuk rezim pro-Amerika di Cuba, menempatkan pangkalan militer di Jepang, berperang di Vietnam, hingga perang melawan teror di Afganistan.
Tetapi sekali lagi, segala intervensi AS justru berakhir dengan kekalahan dan antipati dunia.
Karena kegagalan demi kegagalan tersebut, AS harus menyerahkan urusan itu kepada Moore yang harus merelakan diri menjadi martir dengan menginvasi negara lain seorang diri.
Moore harus berjuang sendiri dengan berbekal kamera dan kerendahan hati. Invasinya tidak didorong oleh minyak atau kekuasaan. Ia hanya akan mengambil hal-hal bermanfaat dari mereka untuk diterapkan di AS.
Dari sini, Moore mulai mengajak kita bersimpati pada kisah-kisah invasinya. Ia berangkat ke Eropa untuk mengibarkan bendera AS di negara-negara yang menurutnya memiliki ide-ide cemerlang.
Faktanya memang demikian, orang-orang Eropa memiliki itu: pabrik yang ramah pekerja di Italia, sistem penjara yang manusiawi di Norwegia, makan siang sekolah yang sehat di Prancis, kuliah gratis di Finlandia dan Slovenia, hukuman bagi para bankir yang menghancurkan ekonomi negara, pengakuan hak-hak perempuan di Tunisia dan pengakuan sejarah masa lalu (Holocaust) di Jerman.
Ada dua hal yang ia garisbawahi dalam setiap ide-ide cemerlang di atas. Pertama, mereka tidak terjadi begitu saja melainkan hasil dari proses politik yang panjang. Italia dan Jerman misalnya, kesejahteraan buruh tidak akan tercapai tanpa serikat yang kuat. Dan serikat buruh yang kuat terbentuk dari proses politik demokratis yang terbuka dan berkelanjutan. Kedua, ide-ide cemerlang di atas sebenarnya berasal dari AS sendiri atau setidaknya mereka banyak belajar dari AS.
Michael Moore, seperti yang sudah-sudah, berbicara pada publik AS tentang betapa payahnya kalian mewujudkan cita-citanya sendiri.
Dia mengolah satir imperialisme menjadi sebuah otokritik publik AS yang senantiasa berpuas diri.
Where to Invade Next | 2015 | Sutradara: Michael Moore | Negara: Amerika Serikat