Pada September 2020 lalu, saya menulis bab buku tentang teknologi dan inovasi ramah iklim di buku antologi Bicara Iklim: Pemuda Menulis untuk Keadilan Iklim yang diterbitkan oleh Friedrich Naumann Foundation for Freedom Indonesia (FNF Indonesia).
Buku Bicara Iklim ditulis melalui kolaborasi dari 25 penulis muda yang peduli dan terlibat dalam pergerakan adaptasi dan mitigasi perubahan iklim dengan empat tema utama: gaya hidup rendah karbon, keadilan iklim dan HAM, teknologi dan inovasi ramah lingkungan, serta kebijakan dan hukum lingkungan yang lebih baik.
Penulisan buku ini didukung oleh Friedrich Naumann Foundation for Freedom Indonesia (FNF Indonesia). Mereka adalah sebuah yayasan yang bergerak di bidang pendidikan demokrasi, kebebasan, dan inisiatif masyarakat sipil. Terkait perubahan iklim, Friedrich Naumann Foundation for Freedom Indonesia (FNF Indonesia) menaruh kepercayaan dan mendorong anak muda untuk mampu menjadi penggerak inisiatif-inisiatif perubahan iklim melalui tulisan mereka.
Dalam proses penulisan dan penerbitan buku, Friedrich Naumann Foundation for Freedom Indonesia (FNF Indonesia) juga memberikan pelatihan secara daring bagi 25 penulis muda terpilih untuk belajar bagaimana menulis cerita perubahan iklim.
FNF Indonesia memberikan kami pelatihan dengan tema yang beragam dan mentor-mentor yang membagikan ilmu serta pengalamannya dalam isu perubahan iklim. Kami berterima kasih sekaligus mengambil banyak inspirasi dari kepedulian serta perjuangan panjang mereka: Florence Armein dari Earth Journalism Asia Pasifik, Lia Zakiyyah dari Climate Reality Project, Hans Nicholas dari Mongabay Indonesia, Marsya Mutmainah dari ICEL Indonesia, dan Kak Mudita dari FNF Indonesia.
Kami belajar bagaimana seharusnya perubahan iklim dipandang sebagai isu keadilan mengingat dampak yang ditimbulkan akan bergantung pada kemampuan adaptasi dan mitigasi komunitas masyarakat atau sebuah negara. Kesadaran bahwa adanya ketidakadilan dan relasi kuasa terkait sebab-akibat perubahan iklim telah mendorong pengarusutaman gerakan keadilan iklim (climate justice).
Di tengah kondisi sosial dan ekonomi yang sudah tidak adil, dampak perubahan iklim dapat memperburuk segalanya. Masyarakat miskin dan rentan adalah pihak pertama yang menderita dan paling terkena dampaknya. Mereka lebih rentan terhadap risiko yang ditimbulkan oleh dampak perubahan iklim seperti banjir, peningkatan kebakaran hutan, gelombang panas, kualitas udara yang buruk, hilangnya garis pantai, kelangkaan bahan makanan dan air bersih.
Padahal, mereka yang paling rentan memiliki tanggung jawab yang paling rendah sebagai penyebab emisi yang menyebabkan perubahan iklim.
Keadilan iklim mendorong adanya tanggung jawab sejarah terkait perubahan iklim. Negara-negara yang telah mengakumulasi kemakmuran dari pembakaran bahan bahan fosil, sudah seharusnya mengemban beban tanggung jawab paling besar untuk membayar biaya-biaya sosial dan ekonomi dari proses adaptasi dan mitigasi perubahan iklim.
Dalam upaya global hingga strategi pemerintah Indonesia, prinsip keadilan iklim harus didorong sebagai landasan utama bagi setiap upaya untuk mempersiapkan tata ekonomi yang rendah karbon sekaligus masyarakat yang resilien dan adaptif terhadap dampak perubahan iklim.
***
Beberapa tahun kebelakang muncul istilah yang sering didengungkan terutama di media sosial yakni doomerism. Istilah ini diasosiasikan kepada orang-orang yang pesimis terhadap dunia yang lebih baik.
Keputusasaan dan rasa tak berdaya tersebut berangkat dari tren global yang memang terlihat mengkhawatirkan. Dalam beberapa tahun kebelakang, tren demokrasi dan kebebasan sipil menurun, kesenjangan sosial-ekonomi meningkat, serta ancaman perang nuklir dari konflik negara-negara besar.
Dalam isu perubahan iklim, suara-suara doomerism semakin menguat di kalangan anak muda. Ditengah upaya global menurunkan emisi gas rumah kaca yang berjalan lambat, usaha untuk menepati komitmen iklim yang telah disetujui dalam Perjanjian Paris semakin mempertebal kekhawatiran mereka.
Meskipun kaum muda mempunyai alasan kuat untuk khawatir akan kemampuan kita mengatasi perubahan iklim. Keputusasaan tidak memberikan kontribusi apapun bagi gerakan keadilan iklim. Pesimisme — yang sebenarnya dapat dimengerti mengingat keadaan dunia yang kacau balau seperti yang kita lihat— membuat kita meremehkan sejarah panjang kemajuan material dan politik luar biasa yang telah dicapai umat manusia selama beberapa abad terakhir.
Harapan untuk masa depan yang tidak hanya akan terus berlanjut, namun akan terus menjadi lebih baik inilah yang disemai dalam buku Bicara Iklim. Dalam pelatihan menulis cerita perubahan iklim, kami belajar untuk membagikan harapan yang lebih mampu mendorong pembacanya untuk melakukan sesuatu. Disertai dengan data-data sains yang mampu dipertanggungjawabkan, keduanya adalah resep cerita perubahan iklim yang baik.
***
Dengan bekal ilmu-ilmu yang didapatkan dari para mentor di atas, 25 penulis muda terpilih diberikan kebebasan untuk membuat cerita perubahan iklim yang inspiratif. Saya menulis feature tentang profil seseorang dengan gaya hidup rendah karbon sekaligus memanfaatkan inovasi teknologi ramah lingkungan, yakni Gung Kayon.
Tulisan feature profil umum digunakan untuk menulis tokoh yang berprestasi dalam karier dan profesi yang digelutinya, atau menjadi sosok inspiratif dan menciptakan inovasi yang bermanfaat bagi kepentingan umum.
Bagi saya sendiri, Gung Kayon merupakan sosok inspiratif yang sadar bahwa pilihan konsumsinya berkontribusi pada laju perubahan iklim. Oleh karena itu, ia berinovasi dengan memasang belasan panel surya untuk melepaskan ketergantungan listrik yang bersumber pada energi fosil.
Kita mungkin tidak bersepakat soal seberapa besar pengaruh pilihan individu bagi perubahan iklim. Tapi Gung Kayon mengajarkan kita bahwa perubahan yang besar bisa dimulai dari pilihan-pilihan kita.
Ia mempraktikkan kemandirian energi dari tempat tinggalnya yang terletak di Kabupaten Tabanan, Bali. Tidak berhenti pada pilihan konsumsinya sendiri, ia juga mengajak warga desanya untuk memanfaatkan panel surya. Ketika bab buku ini ditulis, Gung Kayon mengatakan bahwa beberapa lokasi di sekitar desanya sudah memanfaatkan panel surya seperti Balai Banjar, Pura, dan tempat pemandian atau Beji.
Kerja kerasnya untuk mempraktikkan kemandirian energi dari skala rumah tangga diapresiasi oleh Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESM). Ia diberikan anugerah penghargaan Energi Prakarsa Perorangan, salah satu bentuk apresiasi yang diberikan pemerintah bagi upaya pemanfaatan energi dengan prinsip diversifikasi dan konservasi.
Latar belakang inilah yang menjadi alasan saya menulis feature profile sosok Gung Kayon.
Riset adalah hal yang paling penting dalam proses kepenulisan. Proses pengumpulan informasi dalam tulisan feature profile dapat diperoleh dengan beberapa cara seperti melakukan wawancara dengan narasumber utama, mengamati secara langsung kerja atau usaha yang dilakukan narasumber, menggali informasi tentang narasumber dari media atau internet, hingga bertanya kepada orang lain yang memiliki kedekatan dengan narasumber.
Riset untuk penulisan feature profile ini saya dapatkan dari menggali sebanyak mungkin informasi tentang sosok Gung Kayon yang ada di internet sekaligus melakukan pengamatan langsung dan berdiskusi langsung di tempat tinggalnya.
Saya sangat beruntung dapat belajar dan berdiskusi secara langsung mengenai energi bersih dari Gung Kayon. Kesempatan itu saya dapatkan ketika terpilih untuk mengikuti Switch Camp, pelatihan advokasi, aktivisme, dan kepemimpinan yang diselenggarakan oleh 350.org Indonesia kepada 25 pelajar-penggerak di Indonesia pada Agustus 2019 lalu.
Dari sana hingga terbitnya bab buku yang saya tulis tentang Gung Kayon dan Inovasi Iklim dari Rumah di Cerita Iklim, saya belajar bahwa tidak ada cara lain untuk mendorong keadilan iklim selain menyebarluaskan harapan. Cerita-cerita inspiratif seperti Gung Kayon dan sejenisnya perlu menjadi pokok pembahasan di dalamnya. Dimana setiap individu memiliki tanggung jawab masing-masing untuk memukul balik perubahan iklim lewat konsumsi energi. Jika gaya hidup yang ramah lingkunan seperti Gung Kayon bertemu dengan kebijakan iklim global dari pemerintah, kita punya peluang untuk mempertahankan laju perubahan iklim di bawah 2 derajat celcius dan mewariskan masa depan yang cerah bagi generasi mendatang.
***
Untuk teman-teman yang tertarik membacanya, bab buku “Gung Kayon dan Inovasi Iklim dari Rumah” dapat diakses di buku antologi Bicara Iklim: Pemuda Menulis untuk Keadilan Iklim.