Sejak 2019, saya terlibat dalam beberapa kegiatan kampanye keadilan iklim (climate justice) dan aktif mendiskusikan isu ini di ruang-ruang kelas kampus. Kepedulian dan kesadaran ini saya dapatkan setelah mengikuti pelatihan advokasi, kampanye, dan aktivisme keadilan iklim bersama 350.org Indonesia di Bali pada Agustus 2019 lalu.

Sekembalinya dari pelatihan tersebut, saya bersama-sama dengan teman-teman Fossil Free Bandung ikut mengorganisir kampanye keadilan iklim global dalam aksi Jeda Iklim untuk Indonesia pada September 2019.

Di luar kegiatan kampanye, saya terus mencoba mengarusutamakan gerakan keadilan iklim dalam diskursus akademik di kampus. Dalam studi saya yakni ilmu hubungan internasional, isu ini beririsan dengan kajian ekonomi-politik dan keamanan non-tradisional. Oleh karena itu, selain disertai kepedulian dan kesadaran, usaha saya mengarusutamakan keadilan iklim juga didukung oleh ketertarikan akademik pada kajian-kajian ekonomi-politik dan sebagainya.

Alasan tersebut juga menjadi motivasi saya untuk mengawinkan semangat aktivisme dan ilmu pengetahuan dalam mendirikan Climate Speak, Komunitas epistemik dalam kampus yang bertujuan untuk mendiskusikan keadilan iklim dalam studi hubungan internasional.

Kami telah menyelenggarakan beberapa beberapa diskusi terbatas yang berkolaborasi dengan Laboratorium Ilmu Hubungan Internasional FISIP Universitas Pasundan dan diskusi terbuka yang berkolaborasi bersama Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) FISIP Universitas Pasundan.

Salah satu diskusi terbuka terselenggara pada 8 Mei 2021. Pada diskusi tersebut, saya menjadi moderator untuk tema diskusi “Climate Change: Economic Development VS Enviroment Resposibility”. Ketiga narasumber dalam diskusi ini adalah Mutiara Nabeela (Founder Cerita Iklim), Lia Zakiyyah (Deputi Asisten Utusan Khusus Presiden RI untuk Perubahan Iklim 2015-2019), dan Nur Ratih Devi Affandi (Dosen Ilmu Komunikasi UNPAS).

Ketiganya menyampaikan pandangan masing-masing terkait mitos pembangunan dimana pertumbuhan ekonomi selalu mengabaikan atau mengorbankan kesejahteraan lingkungan.

Kemakmuran dan pembangunan yang umat manusia rasakan saat ini sejatinya tidak bisa dilepaskan dari keberhasilan ekonomi yang digerakkan oleh bahan bakar fosil. Proses pembakaran bahan fosil yang dilakukan secara masif oleh negara-negara yang mengawali revolusi industri dan pertumbuhan ekonomi menghantarkan mereka menjadi negara-negara maju dengan tingkat kesejahteraan yang tinggi.

Kemakmuran dan kesejahteraan yang dijanjikan oleh pembakaran bahan bahan fosil dianggap sebuah resep dan diulang oleh negara-negara berkembang yang ingin meraih pertumbuhan ekonomi serupa. Namun, negara-negara berkembang tumbuh pada waktu yang salah, saat dunia dihadapkan pada krisis iklim yang diakibatkan oleh ekonomi padat karbon.

Resep pertumbuhan di atas menjadi tak relevan lagi di tengah krisis. Oleh karenanya, ketiga narasumber sampai pada kesimpulan yang saya juga setujui, yaitu pemisahan antara pembangunan ekonomi dan kelestarian lingkungan harus dihentikan.

Negara-negara berkembang tetap perlu mengejar ketertinggalan mereka pada negara-negara maju. Mereka butuh pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan. Namun, perlu adanya orientasi pembangunan ekonomi baru yang berkelanjutan, yang tak mengorbankan kesejahteraan lingkungan.

Ancaman krisis iklim di depan mata seperti gelombang panas, naiknya permukaan air laut, ancaman kelangkaan pangan karena kekeringan, dan lain sebagainya membutuhkan tata ekonomi rendah karbon dan pertumbuhan yang melampaui dimensi ekonomi.

Saya yakin kesimpulan ini juga disepakati oleh pembaca sekalian. Tetapi, kita tidak pernah yakin pada pertanyaan besar yang muncul mengikutinya, “Apakah umat manusia benar-benar mampu melepaskan ketergantungannya atas bahan bakar fosil?”