Photo source: Asim Alnamat

Gray, Colin S. "War and Peace after the Cold War: An Interwar Decade." In War, Peace and International Relations: An introduction to strategic history. Routledge, 2007.

Dalam bab ini, Gray mengantarkan sebuah tesis dalam dinamika konflik global setelah Perang Dingin. Tesis tersebut menyebutkan bahwa tahun-tahun setelah Perang Dingin berakhir adalah periode yang ia sebut sebagai interwar decade. Gray mencoba menjelaskan fenomena konflik global pasca-Perang Dingin yang ditandai oleh tahun-tahun sebelum dan setelah peristiwa 11 September 2001.

Gray melihat periode ini bukanlah sebuah periode perdamaian, melainkan hanya satu tahapan menuju sebuah perang besar lainnya. Ia mengidentifikasi periode ini serupa dengan periode antar perang yang mengakhiri Perang Dunia I sampai meletusnya Perang Dunia II. Periode yang dianggap oleh kaum idealis-utopian sebagai periode damai, ternyata adalah fase menuju sebuah anarki internasional yang menggagalkan proyek perdamaian dunia.

Di periode ini terjadi sebuah depresi besar pada 1930-an yang memperburuk kondisi negara-negara di Eropa. Dari sini ideologi sayap kanan mulai populer di kalangan politisi dan rakyat dengan janji perubahan sosial-ekonomi di masyarakat. Tetapi kita tahu semua bahwa hal ini hanya memicu terjadinya Perang Dunia II. Gray melihat bahwa apa yang terjadi pada peristiwa 9/11 serupa dengan depresi besar 1930-an.

Tesis Interwar decade yang dikemukan Gray memiliki 2 prinsip utama. Pertama, bahwa akan ada konflik antar negara superpower lain yang menunggu untuk terjadi di masa depan. Gray melihat kemungkinan itu ada dalam persaingan antara Amerika Serikat dan Cina yang akan menjadi dua kutub utama dunia.

Kedua, negara-negara kehilangan minatnya dalam melakukan perang. Tetapi malah mendukung pandangan resmi Amerika yang menyatakan bahwa “America is a nation at war”.

Tesis ini dianggap penting oleh Gray karena dianggap membawa kita pada tiga perspektif yang akan menjelaskan periode ini. Pertama, sebagai jeda dari peperangan besar antar negara sambil menunggu sejarah itu terulang lagi ― Gray memprediksi perang ini mungkin terjadi antara Amerika Serikat dan Cina. Kedua, sebagai kemunculan strategi baru perang antar negara. Ketiga, sebagai periode dimana muncul ancaman asimetris dari kelompok terorisme yang didorong semangat keagamaan yang menjadi masalah utama konflik global

Namun, tesis ini dianggap tidak menarik oleh beberapa peneliti yang menganggap bahwa perang besar antar negara telah selesai. Mereka yang menolak tesis ini umumnya percaya bahwa era peperangan antar negara besar telah dan akan semakin usang menyusul berakhirnya Perang Dingin. Kini, paradigma perang antar negara semakin terkikis menyusul semakin tersebarnya senjata nuklir, globalisasi ekonomi, dan menipisnya semangat nasionalisme di masyarakat internasional.

Itulah sebabnya beberapa sarjana menyebut tesis Gray tidak lagi relevan. Sebab, perang akan semakin mahal dalam dunia yang didominasi oleh persaingan ekonomi.

Ada beberapa komentar yang bisa diberikan penulis pada tesis ini. Pertama, karena tesis ini muncul dalam periode sistem dunia yang unipolar dimana Amerika Serikat menjadi satu-satunya kutub, tesis ini sangat amerika-sentris dalam menjelaskan fenomena konflik global. Dari dua prinsip utama tesis ini, Gray abai dalam menjelaskan pengalaman negara-negara dunia ketiga dalam dinamika konflik global. Padahal, mengutip tesis “the Rise of the Rest” milik Fareed Zakaria, dunia setelah Perang Dingin identik dengan dunia yang semakin demokratis dimana negara-negara berkembang semakin aktif terlibat dalam dinamika global.

Saya melihat adanya kegagalan Gray dalam melihat unipolaritas dunia. Gray menangkap unipolaritas sebagai kondisi semua serba Amerika. Fareed Zakaria dalam tesis yang sebelumnya saya kutip, tidak sepaham dengan klaim unipolaritas dunia dibawah Amerika. Ia menganggap bahwa unipolaritas itu sudah tamat, meski di lain sisi, ia juga meragukan dunia multipolar dengan lebih dari dua pemain besar yang setara ― yang dalam tesis Gray disebutkan antara Amerika dan Cina.

Zakaria meminjam istilah Huntington tentang “uni-multipolar” yang menjelaskan sistem dunia dimana Amerika Serikat masih menjadi sebuah kutub, tetapi hanyalah salah satu diantara sekian banyak negara yang semakin kuat, percaya diri, dan aktif dalam sistem internasional yang lebih demokratis, dinamis, terbuka, dan terkait.

Menurut saya, Gray juga terlalu optimis terhadap  Cina yang menurutnya akan menjadi superpower disamping Amerika Serikat dan menyulut perang dunia ketiga. Padahal, dimensi power Cina masih sulit untuk menandingi Amerika Serikat dalam derajat tertentu. Dalam kata lain, sulit menandingi Amerika Serikat jika hanya memiliki kekuatan dalam dimensi ekonomi saja. Kekuatan ekonomi Cina juga banyak diragukan para ekonom, termasuk Acemoglu dan Robinson. Menurut keduanya, pertumbuhan ekonomi dalam rezim otoriter ― dalam istilah mereka disebut ekstraktif ― diperkirakan tidak akan berlangsung lama. Dalam buku Why Nations Fails, keduanya menyatakan bahwa pertumbuhan ekonomi Cina akan terhambat jika tidak secepatnya melaksanakan reformasi politik. Pertumbuhan ekonomi di bawah institusi ekstraktif seperti Cina meskipun bisa dipertahankan selama beberapa saat, tidak akan menjadi pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan.

Referensi:

Gray, C., & Gray, C.S. (2007). War, Peace and International Relations: An introduction to strategic history (1st ed.). Routledge. https://doi.org/10.4324/9780203088999

The Post-American World, Fareed Zakaria, New York, W.W. Norton & Co., 2008, 304 pages

Acemoglu, Daron, and James A. Robinson. 2013. Why Nations Fail. London, England: Profile Books.


*Artikel ini adalah esai untuk menanggapi bahan ajar utama dalam mata kuliah Polemologi dan Resolusi Konflik.