Gray, Colin S. "War and
Peace after the Cold War: An Interwar Decade."
Dalam
bab ini, Gray mengantarkan sebuah tesis dalam dinamika konflik global setelah
Perang Dingin. Tesis tersebut menyebutkan bahwa tahun-tahun setelah Perang
Dingin berakhir adalah periode yang ia sebut sebagai interwar decade. Gray
mencoba menjelaskan fenomena konflik global pasca-Perang Dingin yang ditandai
oleh tahun-tahun sebelum dan setelah peristiwa 11 September 2001.
Gray
melihat periode ini bukanlah sebuah periode perdamaian, melainkan hanya satu tahapan
menuju sebuah perang besar lainnya. Ia mengidentifikasi periode ini serupa
dengan periode antar perang yang mengakhiri Perang Dunia I sampai meletusnya
Perang Dunia II. Periode yang dianggap oleh kaum idealis-utopian sebagai
periode damai, ternyata adalah fase menuju sebuah anarki internasional yang
menggagalkan proyek perdamaian dunia.
Di
periode ini terjadi sebuah depresi besar pada 1930-an yang memperburuk kondisi
negara-negara di Eropa. Dari sini ideologi sayap kanan mulai populer di kalangan
politisi dan rakyat dengan janji perubahan sosial-ekonomi di masyarakat. Tetapi
kita tahu semua bahwa hal ini hanya memicu terjadinya Perang Dunia II. Gray
melihat bahwa apa yang terjadi pada peristiwa 9/11 serupa dengan depresi besar
1930-an.
Tesis
Interwar decade yang dikemukan Gray memiliki 2 prinsip utama. Pertama,
bahwa akan ada konflik antar negara superpower lain yang menunggu untuk
terjadi di masa depan. Gray melihat kemungkinan itu ada dalam persaingan antara
Amerika Serikat dan Cina yang akan menjadi dua kutub utama dunia.
Kedua,
negara-negara kehilangan minatnya dalam melakukan perang. Tetapi malah
mendukung pandangan resmi Amerika yang menyatakan bahwa “America is a nation at
war”.
Tesis
ini dianggap penting oleh Gray karena dianggap membawa kita pada tiga
perspektif yang akan menjelaskan periode ini. Pertama, sebagai jeda dari
peperangan besar antar negara sambil menunggu sejarah itu terulang lagi ― Gray
memprediksi perang ini mungkin terjadi antara Amerika Serikat dan Cina. Kedua,
sebagai kemunculan strategi baru perang antar negara. Ketiga, sebagai
periode dimana muncul ancaman asimetris dari kelompok terorisme yang didorong
semangat keagamaan yang menjadi masalah utama konflik global
Namun,
tesis ini dianggap tidak menarik oleh beberapa peneliti yang menganggap bahwa
perang besar antar negara telah selesai. Mereka yang menolak tesis ini umumnya
percaya bahwa era peperangan antar negara besar telah dan akan semakin usang
menyusul berakhirnya Perang Dingin. Kini, paradigma perang antar negara semakin
terkikis menyusul semakin tersebarnya senjata nuklir, globalisasi ekonomi, dan
menipisnya semangat nasionalisme di masyarakat internasional.
Itulah
sebabnya beberapa sarjana menyebut tesis Gray tidak lagi relevan. Sebab, perang
akan semakin mahal dalam dunia yang didominasi oleh persaingan ekonomi.
Ada
beberapa komentar yang bisa diberikan penulis pada tesis ini. Pertama,
karena tesis ini muncul dalam periode sistem dunia yang unipolar dimana Amerika
Serikat menjadi satu-satunya kutub, tesis ini sangat amerika-sentris dalam
menjelaskan fenomena konflik global. Dari dua prinsip utama tesis ini, Gray
abai dalam menjelaskan pengalaman negara-negara dunia ketiga dalam dinamika
konflik global. Padahal, mengutip tesis “the Rise of the Rest” milik Fareed
Zakaria, dunia setelah Perang Dingin identik dengan dunia yang semakin
demokratis dimana negara-negara berkembang semakin aktif terlibat dalam
dinamika global.
Saya
melihat adanya kegagalan Gray dalam melihat unipolaritas dunia. Gray menangkap
unipolaritas sebagai kondisi semua serba Amerika. Fareed Zakaria dalam tesis
yang sebelumnya saya kutip, tidak sepaham dengan klaim unipolaritas dunia
dibawah Amerika. Ia menganggap bahwa unipolaritas itu sudah tamat, meski di
lain sisi, ia juga meragukan dunia multipolar dengan lebih dari dua pemain
besar yang setara ― yang dalam tesis Gray disebutkan antara Amerika dan Cina.
Zakaria
meminjam istilah Huntington tentang “uni-multipolar” yang menjelaskan sistem
dunia dimana Amerika Serikat masih menjadi sebuah kutub, tetapi hanyalah salah
satu diantara sekian banyak negara yang semakin kuat, percaya diri, dan aktif
dalam sistem internasional yang lebih demokratis, dinamis, terbuka, dan
terkait.
Menurut saya, Gray juga terlalu optimis terhadap Cina yang menurutnya akan menjadi superpower disamping Amerika Serikat dan menyulut perang dunia ketiga. Padahal, dimensi power Cina masih sulit untuk menandingi Amerika Serikat dalam derajat tertentu. Dalam kata lain, sulit menandingi Amerika Serikat jika hanya memiliki kekuatan dalam dimensi ekonomi saja. Kekuatan ekonomi Cina juga banyak diragukan para ekonom, termasuk Acemoglu dan Robinson. Menurut keduanya, pertumbuhan ekonomi dalam rezim otoriter ― dalam istilah mereka disebut ekstraktif ― diperkirakan tidak akan berlangsung lama. Dalam buku Why Nations Fails, keduanya menyatakan bahwa pertumbuhan ekonomi Cina akan terhambat jika tidak secepatnya melaksanakan reformasi politik. Pertumbuhan ekonomi di bawah institusi ekstraktif seperti Cina meskipun bisa dipertahankan selama beberapa saat, tidak akan menjadi pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan.
Referensi:
Gray, C., & Gray, C.S. (2007). War, Peace and International Relations: An introduction to strategic history (1st ed.). Routledge. https://doi.org/10.4324/9780203088999
The Post-American World, Fareed Zakaria, New York, W.W. Norton & Co., 2008, 304 pages
Acemoglu, Daron, and James A. Robinson. 2013. Why Nations Fail. London, England: Profile Books.
*Artikel ini adalah esai untuk menanggapi bahan ajar utama dalam mata kuliah Polemologi dan Resolusi Konflik.