Apakah perang berguna? Ian Morris, sejawaran Universitas Stanford mengungkapkan bahwa dalam jangka panjang, perang berguna dengan alasan apapun. Dalam buku War! What Is It Good For? (2014), Morris menyatakan bahwa perang telah memainkan peran penting dalam pembangunan dan pertumbuhan kesejahteraan manusia. Buku tersebut mendukung tidak hanya kekuasaan yang besar dan terpusat tetapi juga imperialisme; sebagaimana yang terjadi dalam sejarah modern, ini diterjemahkan menjadi dukungannya terhadap peran historis kolonialisme Kerajaan Inggris dan politik imperialis Amerika Serikat saat ini.
Morris sangat serius dengan tesis ini. Dalam Why the West Rules—For Now (2010), ia mengambil topik yang banyak dipelajari tentang mengapa modernitas pertama kali muncul di Eropa barat dan setelahnya mendominasi bagian dunia lainnya. Sekuelnya, The Measure of Civilization (2013) mengajukan ukuran untuk menilai seberapa “beradab” suatu periode sejarah.
Meskipun sulit untuk meyakinkan pembaca, argumen dalam buku terbarunya berlimpah dan subtil. Terdapat argumen ambigu dan tesis utama yang mengundang banyak pertanyaan secara empiris. Terdapat juga potongan-potongan cerita yang penting namun luput —yang mungkin kesengajaan penulis karena kesulitan menyesuaikan dengan argumennya. Menambahkan sebagian cerita yang hilang akan memberi kita gambaran yang berbeda dan lebih akurat.
Morris mendasarkan tesis buku ini dalam cara pikir Hobbesian. Menurutnya, manusia adalah makhluk yang sangat terikat dengan kepemilikannya dan agresif secara alami. Lord of Flies (baca ini untuk memahami alegorinya) tepat menggambarkan keadaan manusia daripada Coming of Age in Samoa (baca ini untuk memahami alegorinya). Akibatnya, manusia tidak terlepas dari kekerasan atau konflik dalam skala kecil seperti perkelahian dan perampokan.
Di masyarakat pemburu-pengumpul, tingkat kematian akibat kekerasan jenis ini sangat tinggi, sebanyak 20 persen dari semua kematian. (Klaim ini masih menjadi perdebatan, sebagaimana dicatat Morris, tetapi dia benar soal bukti-bukti yang mendukung pembacaan masa Zaman Batu ini.)
Dalam hal ini, manusia seperti salah satu dari dua kerabat biologis terdekatnya (simpanse) tetapi tidak seperti yang lain (bonobo). Jumlah kekerasan individu yang kronis berarti bahwa institusi sosial dan perdagangan yang kompleks tidak berkembang —tidak di antara simpanse, dan tidak di antara manusia untuk sebagian besar sejarah kita sebagai suatu spesies.
Morris melanjutkan, tidak seperti simpanse, manusia memiliki kemampuan untuk berevolusi secara sosial maupun biologis. Nenek moyang kita menemukan kebudayaan agrikultur di beberapa bagian dunia (the “lucky latitudes”) yang flora dan faunanya sangat cocok untuk didomestikasi.
Hal ini menyebabkan peningkatan populasi manusia, pembagian kerja yang lebih banyak, dan tekanan yang lebih besar pada sumber daya. Respon awal terhadap tekanan itu adalah bermigrasi ke wilayah lain. Sementara itu, tingkat kematian akibat kekerasan yang tinggi tetap menjadi hal yang biasa. Akhirnya, Morris berpendapat, tekanan populasi mengubah insentif dan menyebabkan inovasi besar: perang.
Akibat langsung dari perang adalah peningkatan signifikan dalam jumlah kematian seiring dengan meningkatnya skala pembunuhan. Tetapi, perang juga menciptakan kelompok-kelompok yang mengontrol sarana kekerasan dan menggunakannya untuk mengorganisir manusia.
Insentif bagi kelompok pemangsa ini pada awalnya mendorong mereka untuk menjarah dan membunuh orang lain. Namun, segera mungkin insentif itu berubah menjadi insentif jangka panjang untuk menaklukkan dan menciptakan hierarki sosial yang diperluas. Setelah itu dilakukan, kelompok ini mulai mengorganisir diri menjadi kelas penguasa yang memerintah orang-orang yang telah ditaklukkan.
Kelompok ini kemudian disebut Leviathan (istilah yang dipinjam dari pemikiran Thomas Hobbes untuk mendefinisikan entitas kekuasaan yang diberikan kepercayaan untuk melindungi masyarakat) yang kemudian mengurangi tingkat kekerasan individu di masyarakat dengan menghukum perilaku kekerasan dan mengubah perilaku masyarakat menjadi lebih berbudaya.
Semua ini mengarah pada peningkatan populasi dan pertumbuhan kekayaan dan perdagangan serta pembagian kerja. Konsekuensinya termasuk juga perkembangan teknologi, munculnya kota, dan tingkat kenyamanan dan konsumsi yang lebih tinggi.
Meskipun jumlah orang yang terbunuh dalam perang yang menciptakan Leviathan tinggi, tingkat kematian per kapita menurun karena perubahan perilaku masyarakat yang menghasilkan pertumbuhan.
Morris berpikir bahwa perang sangat penting untuk menjadi motor utama fenomena sosial lainnya. Leviathan yang diciptakan oleh perang (seperti Kekaisaran Romawi, yang berdiri sebagai proxy untuk negara-negara Leviathan pada umumnya di bagian awal buku) cenderung memperluas wilayah mereka sampai mereka mencapai suatu titik (ditentukan oleh geografi, teknologi, dan organisasi militer) di mana biaya ekspansi lebih besar daripada manfaatnya.
Di dunia modern, batasan-batasan semakin mudah dilampaui dan kita melihat perkembangan hegemon global. Dimulai oleh Kerajaan Inggris dan saat ini Amerika Serikat, yang meskipun tidak secara langsung mengendalikan seluruh dunia tetapi menghadirkan aturan main sebagai " globocop.”
Jelas ini adalah tantangan langsung bagi banyak cita-cita dan gagasan libertarian. Jika argumen Morris benar, tatanan (order) bukanlah sesuatu yang jatuh dari langit melainkan sesuatu yang hadir hanya setelah negara-negara kuat diciptakan oleh perang; imperium secara umum merupakan entitas yang berguna; dan perkembangan manusia, inovasi, dan kemakmuran bergantung pada pemerintahan yang kuat dan aktif. Dalam konteks perdebatan kebijakan saat ini, itu berarti bahwa Amerika Serikat harus meningkatkan peran globalnya alih-alih mundur.
Namun, argumen ini mengungkapkan beberapa ambiguitas yang pada gilirannya mengungkapkan kelemahannya. Masalah utama yang dihadapi Morris adalah menjelaskan apa yang terjadi dari sekitar abad ke-2 M hingga abad ke-15.
Sampai saat itu, menurutnya tren jangka panjang menunjukkan satu dari beberapa perang mendorong imperium yang lebih besar dan lebih mapan, dan berkorespondensi dengan perkembangan manusia dan penurunan kekerasan individu. (Sebenarnya ada jeda besar selama beberapa ratus tahun pada akhir Zaman Perunggu, tetapi dia mengabaikannya.)
Pada Abad Pertengahan, tren jangka panjang ini terhenti. Masih ada imperium dan negara yang kuat, tetapi ini secara teratur runtuh sepenuhnya atau, lebih sering, melihat penurunan kekuatan terpusat dan pertumbuhan tatanan sosial yang terdesentralisasi, biasanya feodalisme. Tren jangka panjang yang baru adalah entitas politik efektif yang mengecil atau terdesentralisasi.
Morris tidak menyadari hal ini. Dia berpendapat bahwa ada kebangkitan kekerasan individu (meskipun tidak sepenuhnya kembali ke tingkat pra-Leviathan), dan dia menggunakan istilah "anarki feodal" untuk menggambarkan masyarakat Eropa abad pertengahan, seolah-olah Inggris pada masa pemerintahan Raja Stephen adalah kasus khusus.
Kita mungkin mengesampingkan pertanyaan apakah tren ini akurat. Seperti yang dikatakan Morris, ini adalah pertanyaan empiris, dan penelitian lebih lanjut harus dilakukan sebelum dijawab.
Kesulitannya adalah bagaimana mengatasinya dalam model di mana perang adalah faktor penjelas utama. Jawaban Morris adalah bahwa sebenarnya ada dua jenis perang, "produktif" dan "tidak produktif", dengan jenis kedua yang dominan antara abad ke-2 dan ke-15.
Tidak jelas bagaimana kita membedakan antara dua jenis perang ini dan apa kriteria untuk membedakannya. Seringkali, itu semua hanya tentang hasil: Perang produktif menghasilkan Leviathan yang stabil dan efektif sementara perang yang tidak produktif melemahkan atau menghancurkannya.
Tapi penjelasan ini mengancam seluruh tesis Morris, karena berarti bahwa perang akan kehilangan posisinya sebagai satu-satunya motor penggerak pembangunan sosial.
Solusinya adalah untuk menyiratkan bahwa perbedaan terletak pada bentuk organisasi militer dan teknologi. Morris mengatakan bahwa perang berbasis kavaleri secara intrinsik tidak produktif sementara perang berbasis infanteri dan angkatan laut produktif.
Penunggang kuda pada masa Raja Stephen, klaimnya, adalah kekuatan destruktif yang berulang kali menyebabkan perang-perang yang tidak produktif dan dengan demikian menghentikan proses yang dijelaskan di bagian pertama buku ini.
Kalim ini memilih masalah. Dalam kaitannya dengan argumen Morris sendiri, tidak pernah dijelaskan secara pasti mengapa penakluk seperti Stephen tidak mendapat insentif yang sama seperti penakluk lainnya dan tidak menciptakan pemerintahan yang stabil setelah mereka menaklukkan wilayah yang luas.
Argumennya adalah bahwa mereka sendiri akan digulingkan pada gilirannya oleh gelombang penakluk setelahnya. Namun, peradaban yang masyarakatnya telah menetap berulang kali mengalahkan kaum nomaden dan menunjukkan bahwa mereka dapat mengeksploitasi kelemahan besar kaum nomaden, yang terfragmentasi dalam tatanan kesukuan.
Ada juga sanggahan untuk cerita ini. Agar klaim Morris berhasil, itu harus diterapkan tepat di seluruh "lucky latitudes" Eurasia untuk seluruh periode ini, dan kenyataannya tidak. Ini berlaku di Timur Tengah dan India, tetapi di Eropa tidak ada serbuan kaum nomaden besar-besaran setelah kekalahan bangsa Magyar di Lechfeld pada tahun 955 sampai bangsa Mongol secara singkat menginvasi Eropa timur dan tengah pada tahun 1240.
Tahun berikutnya mereka mundur dan tidak pernah kembali. Bangsa Viking (yang toh tidak cocok dengan narasi ini) juga berhenti menjadi bandit nomaden di abad ke-10 dan hidup menetap.
Mengingat hal ini, model Morris akan mengarahkan Anda untuk mengharapkan Eropa abad pertengahan melihat pertumbuhan satu imperium besar. Faktanya, kecenderungan saat itu lebih mengarah pada fragmentasi, tidak terkecuali di Jerman dan Italia.
Ini juga tidak berfungsi di ujung lain Eurasia. Di Cina, periode itu terdapat dua Leviathan dari Dinasti Tang dan Song. Morris mengklaim bahwa ini adalah dinasti "zombie" yang dalam beberapa hal tidak sebanding dengan contoh Dinasti Han dan Romawi sebelumnya. Namun, mengingat lamanya mereka bertahan dan tingkat perkembangan sosial yang mereka lihat (khususnya Dinasti Song), ini sama sekali tidak masuk akal.
Di Jepang, proses pelemahan dan keruntuhan kekuasaan terpusat yang serupa terjadi di bawah Keshogunan Ashikaga setelah abad ke-14, tetapi Jepang sebagai negara kepulauan tidak terlalu terpengaruh oleh peristiwa-peristiwa di daratan Eurasia. Pasti ada faktor lain yang menjelaskan apa yang terjadi, bahkan dalam narasi Morris sendiri.
Ambiguitas kedua memberikan banyak penerangan pada masalah ini. Morris menempatkan inovasi dan sumber daya manusia sebagai bagian sentral dalam tesisnya.
Dia juga secara eksplisit berpendapat bahwa jenis inovasi yang mengarah pada pertumbuhan ekonomi dan pembangunan sosial hanya dapat terjadi setelah perang produktif telah menciptakan Leviathan.
Tetapi, kemampuan inovasi manusia lah yang mengarah pada perkembangan perang itu sendiri. Sudah jelas bahwa inovasi adalah variabel independen dan bukan variabel dependen yang sederhana.
Kisah interaksi antara pemerintahan dan perang di satu sisi, dan inovasi, pertukaran, dan kerja sama sukarela di sisi lain, adalah kompleks, dengan bergerak kedua arah. Kedua domain perilaku manusia itu otonom, dan keduanya tidak hanya merupakan konsekuensi dari yang lain.
Selain itu, Leviathan bukanlah satu-satunya jenis tatanan politik yang muncul dari interaksi antara konflik dan inovasi ini. Berulang kali kita melihat alternatif: masyarakat mandiri dengan unit-unit politik kecil, khususnya negara-kota. Contoh terbesar dari ini adalah di Asia Tenggara dari abad ke-7 hingga ke-15.
Tetapi di peradaban kuno dan Eropa abad pertengahan juga melihat banyak contoh. Bukti era Helenistik antara Alexander dan Actium menunjukkan bahwa tatanan politik semacam ini sebenarnya terkait dengan tingkat inovasi yang tinggi.
Ini membawa kita ke ambiguitas ketiga yang menjadi jelas dalam catatannya tentang 500 tahun sejak periode abad pertengahan berakhir. Bagi Morris, umat manusia lolos dari jebakan Abad Pertengahan dengan revolusi militer abad ke-15 hingga abad ke-17.
Di sebagian besar dunia, keadaan kembali ke kondisi seperti Mediterania kuno dan dinasti yang saling berperang di Cina, dengan berdirinya kerajaan besar (Rusia, Ottoman, Safawi Iran, Ming dan kemudian Qing Cina, Mughal India).
Tetapi di Eropa, karena alasan-alasan yang terkait, tidak ada hegemon yang muncul. Alih-alih sebuah imperium, kami mendapatkan sistem negara teritorial berdaulat dalam sistem Westphalia.
Karena berfokus pada perang dan pelemahan inovasi, dia melihat Five Hundred Years’ War, di mana orang Eropa (yang telah mendorong revolusi militer lebih jauh karena persaingan internal) memperluas kontrol politik mereka ke seluruh planet ini dan menciptakan tatanan dunia yang didominasi oleh Inggris. Tapi tentu saja bukan hanya dalam peperangan orang Eropa menjadi lebih inovatif.
Melihat inovasi sebagai variabel independen membuat semua menjadi lebih jelas. Elit penguasa pemerintah memiliki kepentingan dalam perdagangan dan inovasi karena dapat dikenakan pajak. Namun perdagangan dan inovasi juga merupakan ancaman. Dengan memberikan kelompok non-militer dan non-gereja kemandirian ekonomi yang lebih besar—dan hanya dengan memperluas jangkauan pilihan yang terbuka bagi rakyat biasa—mereka bisa merusak kendali elit.
Selanjutnya, inovasi terancam ketika sumber daya terbatas karena sebagian besar inovasi adalah gagal. Akibatnya, sebagian besar elit bertindak untuk memeriksa inovasi atau bahkan membalikkannya. Imperium dan kekuasaan seperti Leviathan dapat menyediakan barang-barang publik secara stabil di wilayah yang luas, tetapi dalam jangka panjang mereka menghambat inovasi.
Di Eropa dari abad ke-17 dan seterusnya, ketiadaan hegemon dan persaingan antarnegara mengubah insentif yang dihadapi penguasa. Mereka memiliki lebih banyak alasan untuk mendorong inovasi dan pertumbuhan. Status sosial dan penghargaan bagi para inovator dan orang-orang yang terlibat dalam pertukaran meningkat tajam.
Hasilnya adalah pertumbuhan intensif yang berkelanjutan yang merupakan ciri utama modernitas. Bagi Morris, ini adalah hasil dari perang produktif yang dibawa oleh revolusi militer, tetapi jika demikian halnya, maka manfaatnya seharusnya lebih besar seandainya Eropa bersatu di bawah Habsburg atau Bourbon—dan lebih besar lagi di Cina atau Timur Tengah. Tetapi faktanya tidak.
Bagian yang paling menarik dari buku ini mungkin adalah bab terakhir, yang memproyeksikan 50 tahun ke depan. Bagi Morris, ini adalah waktu dengan peluang besar tetapi juga risiko besar.
Dia khawatir bahwa dengan tidak adanya globocop yang efektif, perang akan sekali lagi menjadi tidak produktif dan kita akan melihat pengulangan tahun-tahun pertengahan abad ke-20 (tetapi dengan senjata yang jauh lebih merusak) atau, lebih buruk lagi kita mengulangi "anarki feodal.”
Namun, Morris optimis kita masih membutuhkan perang dan globocop yang efektif untuk sementara. Inovasi, menurutnya, menjanjikan untuk sepenuhnya mengubah kondisi manusia sehingga perang pada akhirnya akan menjadi mubazir.
Jadi, kita membutuhkan Leviathan dalam waktu lama untuk pada akhirnya mengubah insentif yang kita hadapi sehingga kekerasan tidak lagi masuk akal.
Ada dua hal yang bisa dikatakan perihal ini. Pertama adalah bukti menunjukkan hegemon global lebih cenderung mencekik inovasi yang kita butuhkan. Persaingan antara negara di Eropa yang menyebabkan kebangkitan signifikan dalam inovasi, seperti yang bisa dibilang telah terjadi sebelumnya di dunia Hellenic. Kita harus membidik dunia yang lebih terdesentralisasi, bukan planet dengan satu globocop.
Kedua, alasan optimisme Morris berasal dari karya sebelumnya tentang pengukuran pembangunan sosial. Dia menunjukkan betapa jauh lebih berkembangnya dunia modern daripada peradaban sebelumnya, dan menyimpulkan bahwa manusia sekarang sedang berada di puncak peradaban.
Sisi lain dari itu, bagaimanapun, semua "puncak" yang telah dicapai sebelumnya dalam perkembangan manusia tidak hanya jauh lebih rendah daripada di mana kita berada sekarang; mereka semua berada pada level yang hampir sama satu sama lain. Mengapa demikian?
Jawabannya adalah faktor yang hilang dalam cerita Morris, yaitu malthusian constraints.
Setelah perkembangan agrikultur, nenek moyang kita hidup di dunia Malthus. Secara berkala, peradaban akan mendapatkan keberuntungan satu kali dari satu sumber atau lainnya, yang mengarah pada pertumbuhan, inovasi, dan perang yang mengarah pada pembentukan negara-negara besar dan stabil. Ketika sudah mencapai batasnya, pada saat itu juga proses penghancuran akan dimulai.
Dalam periode yang panjang dari sekitar tahun 200 hingga 1450 M, peradaban yang berada di Eurasia tidak dapat melampaui batasan itu. Ini adalah jawabannya.
Setelah abad ke-15, Dunia Baru (baca: benua Amerika) memberi Eurasia keberuntungan yang meningkatkan produktivitas.
Sejak sekitar tahun 1720, kita tampaknya berhasil meloloskan diri dari perangkap tersebut. Jika benar, maka alasannya menjadi tidak sesederhana soal perang. Itu karena inovasi yang berkelanjutan.
Perang produktif dalam pengertian Morris memainkan peran penting, tetapi hanya di Eropa dan mungkin karena alasan yang sangat khusus. Mungkin malthusian constraints mulai muncul kembali. Itu dan ancaman perang yang terus berlanjut adalah mengapa hal ini benar-benar mungkin menjadi "the Singularity or bust.”
Pertanyaan yang diajukan Morris adalah, "Apakah kita masih membutuhkan perang untuk melakukan ini?". Jawabannya tidak sejelas yang dia duga.
Buktinya sendiri menunjukkan bahwa sebenarnya inovasilah yang sangat penting, dan bahwa perang dan keadaan yang ditimbulkannya lebih cenderung menghambat atau bahkan menghentikan prosesnya.
Daripada Leviathan, kita membutuhkan tatanan politik yang berbeda, yang lebih terbuka, lebih tangguh, dan tidak didorong oleh kekuasaan.
*Tulisan ini merupakan ulasan sekaligus kritik Stephen Davies atas buku Ian Morris berjudul War! What Is It Good For? Conflict and the Progress of Civilization from Primates to Robots.
**Artikel ini adalah terjemahan dari tulisan Stephen Davies di Reason Magazine berjudul "Blood and Leviathan", edisi Juli 2015. Diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia demi tujuan rekreasi pikiran semata.