"The problem with war photography is that there’s absolutely no way to do it from the distance. You have to be close." – Chris Hondros

Menjadi fotografer perang bukanlah suatu pekerjaan untuk semua orang. Chris Hondros, seorang fotografer perang asal AS mendedikasikan hidupnya untuk pekerjaan itu.

Ia mendatangi berbagai konflik yang terjadi di Kosovo, Afganistan, Irak, hingga Libya pada 2011, yang sekaligus menjadi tugas terakhirnya.

Bagi Hondros, meliput perang tidak hanya menyajikan gambar para martir yang memegang senjata. Foto-fotonya memantik kemanusiaan dengan memfokuskan mata lensanya kepada orang-orang yang terdampak oleh perang; orang-orang yang tak memegang senjata.

“Chris made incredible pictures because he went farther and got closer [to the fighting] than the rest of us,” - Lynsey Addario, pemenang penghargaan Pulitzer.

Salah satu karya monumental Hondros adalah "Orphans of Tal Afar", ketika ia bertugas meliput Perang Irak pada 2005. Dia memotret seorang gadis kecil bernama Samar Hassan, yang orang tuanya ditembak mati oleh tentara AS saat sedang berpatroli.

Gadis kecil yang selamat dari penembakan brutal itu menangis dan berteriak. Bunga merah di gaunnya serupa dengan merah darah di wajah dan di tangannya. Karya itu membuka mata dunia tentang apa yang sebenarnya terjadi dengan war on terror. Dan setelahnya adalah sejarah.

****

Artikel Web

Dalam liputannya di Baghdad, Hondros menceritakan pengalaman superfisial dalam melihat kota dan orang-orangnya lewat sebuah jendela kecil dari kendaraan militer. Menurutnya, pengalaman itu memberikan gambaran yang terbatas atas Irak yang kompleks, yang pura-pura kita pahami. Ia menulis:

"... these screens show, for the American soldier-viewers, the day-to-day life of seven million souls: Iraqi children walking to school, men lounging in chairs outside of businesses, a food seller grilling meats. Women swathed in black abayas (so rare before the invasion and so common today) shuffling through the streets. Tall concrete blast walls, everywhere."

Todd Heisler adalah satu dari sekian orang yang Chris Hondros datangi ketika kembali ke New York dari tugasnya. Heisler adalah seorang teman sekaligus kolega. Ia menulis pengalaman personalnya mengenal Hondros.

Ia merindukan percapakan dengan Hondros. Menurutnya, Hondros bukan hanya seorang jurnalis foto. Dia pandai menulis esai dan penikmat sejarah. Karya-karya Hondros lebih dari sekedar memotret momen-momen menentukan dalam konflik. Dia meliput konflik untuk memahami sesuatu yang lebih dalam: humanisme. 

Edward Wong, seorang jurnalis sekaligus teman Chris Hondros, menulis wawancaranya bersama Hondros tentang insiden penembakan satu keluarga oleh militer AS di Tal Afar, Irak.

Film

Film dokumenter ini merayakan perjalanan hidup Chris Hondros sebagai fotojurnalis perang yang karyanya membuka mata publik tentang harga yang harus dibayar oleh perang. Dokumenter ini menceritakan kisah di baliknya.