Ini adalah potret masyarakat adat Kampung Naga yang berada di wilayah administratif Tasikmalaya, Jawa Barat. Penamaan 'naga' diambil dari kata 'nagawir' atau 'gawir' yang berarti tebing. Pengambilan kata tersebut di karenakan posisi Kampung Naga yang dikelilingi oleh 'gawir' atau tebing.
Konsep-konsep mengenai kehidupan yang menjunjung kebersamaan serta berdampingan dengan alam telah dianggap masyarakat adat Kampung Naga bernilai, berharga, dan penting dalam hidup.
Sehingnga dapat berfungsi sebagai suatu pedoman yang memberi arah dan orientasi pada kehidupan para masyarakat. Prinsip hidup masyarakat adat Kampung Naga adalah "hidup bersama alam".Prinsip itu diwujudkan oleh bentuk dan pembuatan rumah adat yang keseluruhannya menggunakan bahan-bahan dari alam serta sumber mata pencaharian masyarakatnya yang berasal dari alam.
Masyarakat adat Kampung Naga dan juga masyarakat adat lainnya adalah salah satu elemen yang penting dalam menjaga lingkungan dari krisis. Menurut penelitian, lahan masyarakat adat menyimpan cukup banyak karbon di dalam tanah. Oleh karena itu, lahan adat dan masyarakat adat sangat berperan penting bagi upaya mengatasi perubahan iklim. Artinya, pemerintah juga harus menjamin hak mereka atas tanah sebagai komitmen memerangi perubahan iklim global.
Selain itu, menurut laporan Tirto.id awal agustus lalu, sektor tata guna lahan dan hutan adalah penyumbang emisi karbon terbesar di Indonesia, yaitu sebanyak 47,8%, menurut Kementerian Lingkungan Hidup dna Kehutanan. Dengan demikian, perlindungan hutan adat kunci mengatasi perubahan iklim di Indonesia.
Bagi masyarakat adat Kampung Naga, alih-alih untuk akumulasi kapital, tanah adalah tempat mereka hidup dan bertahan hidup. Akan tetapi, masyarakat adat hanya mendapat hak legal atas sebagian kecil lahan yang mereka tempati. Sehingga mereka sangat rentan terhadap konflik lahan dengan pihak luar. Padahal, eksistensi mereka telah dilindungi oleh Undang-Undang Hak Asasi Manusia: "Masyarakat adat tidak boleh direlokasi dari tanah mereka tanpa persetujuan atas dasar informasi awal tanpa paksaan, serta hak tanah adat tidak resmi harus dihormati."
Laporan CNN Indonesia mencatat, ratusan ribu orang dari masyarakat adat menjadi korban dari total 326 konflik sumber daya alam dan agraria di seluruh Indonesia sepanjang 2018. Bagi 2,5 miliar masyarakat yang hidup di tanah adat, sengketa lahan adalah sesuatu yang seringkali menghantui mereka. Tanah mereka sangat rentan untuk diambil oleh pemerintah, korporasi, dan elit penguasa lainnya.
Salah satu penyebabnya adalah adanya tumpang tindih pemberian izin antara masyarakat dan pemerintah sendiri. Situs Sekretaris Kabinet RI mengatakan bahwa pangkal masalah ini adalah perbedaan referensi yang digunakan saat penyusunan Informasi Geospasial Tematik (IGT). Dengan demikian, tumpang tindih perizinan ini dapat diselesaikan mellaui Kebijakan Satu Peta (KSP). Kebijakan ini berutjuan untuk mencetak satu acuan utama dalam merencanakan penggunaan dan kepimilikan lahan yang adil dan terintegrasi. Kebijakan ini dapat menjadi solusi unutk mengurai benang kusut data kepemilikan lahan yang seringkali berbeda.
Kebijakan Satu Peta (KSP) ini nantinya juga harus melibatkan partisipasi publik khususnya masyarakat adat. Salah satu program prioritas Nawacita ini harus menciptakan suatu peta informasi geospasial yang akurat dan akuntabel. Sehingga masyarakat adat dapat menggunakan Kebijakan Satu Peta (KSP) ini untuk memberikan perlindungan hak atas lahan adat serta pembangunan pemerintah maupun swasta dapat berjalan tanpa menimbulkan konflik.
*Artikel ini memenangkan Kompetisi Cerita Foto #IniTanahKita yang diselenggarakan oleh World Resources Institute (WRI) Indonesia pada 7 November 2019.