Dalam sebuah catatan pinggir, Goenawan Mohamad pernah menulis soal perlunya (menjaga) demokrasi, “Kapasitas manusia untuk berbuat adil membuat demokrasi menjadi mungkin; kebiasaan manusia untuk berbuat sewenang-wenang membuat demokrasi menjadi perlu.”

Pernyataan Goenawan Mohamad di atas bukan saja berhasil menangkap tegangan yang selalu menjadi fitur dalam perjalanan demokrasi. Ia juga berupaya menyampaikan beberapa hal. Pertama, ia percaya pada dualitas sifat bawaan manusia yang berada pada tegangan politik. Demokrasi menjadi mekanisme paling baik yang memfasilitasi manusia memperbesar kapasitasnya untuk berbuat adil. Kedua, dalam konteks ke-Indonesiaan, ia merayakan kerja-kerja untuk kebebasan yang melahirkan reformasi sambil menatap masa depan dengan kewaspadaan. Sebab, menjaga demokrasi tidak akan pernah tuntas dihadapan tirani.

Buku How Democracies Die yang ditulis oleh Steven Levitsky dan Daniel Ziblatt adalah salah satu cara untuk memahami lebih dalam apa urgensi (menjaga) demokrasi.

Buku ini mengenalkan saya pada Steven Levitsky dan tesis yang ia populerkan: otoritarianisme kompetitif (competitive authoritarianism). Ia menaruh minat besar pada tema-tema autoritarianisme khususnya di Amerika Latin. Dalam artikel yang ia tulis di Journal of Democracy tahun 2002, berjudul "The Rise of Competitive Authoritarianism", Levitsky menjelaskan bagaimana fenomena otoritarianisme kompetitif ini mesti dibedakan dari otoritarianisme klasik.

Otoritarianisme kompetitif merupakan gejala kemunduran demokrasi yang terjadi pada negara-negara berkembang setelah mengalami demokratisasi secara besar-besaran di akhir abad ke-20. Lewat tesisnya tersebut, Levitsky skeptis dengan fenomena seperti gelombang ketiga demokratisasi (baca: tesis Samuel Huntington), yang menjadi fokus kajian dalam perbandingan politik di negara-negara berkembang pada dekade 1980-an hingga 1990-an. Gelombang ketiga demokratisasi menangkap pergeseran sistem politik yang penting di negara-negara berkembang menuju keterbukaan dan kebebasan.

Levitsky menunjukkan bahwa pemilu yang dilaksanakan rutin di negara-negara yang mengalami demokratisasi justru dibarengi dengan penyalahgunaan instrumen negara oleh pemerintahan yang berkuasa. Dalam negara yang mengalami otoritarianisme kompetitif, partai oposisi yang mengikuti pemilu memiliki kemungkinan yang kecil sekali untuk menang atas partai petahana. Begitu juga dengan terjadinya praktik-praktik antidemokrasi lainnya seperti pembungkaman pihak oposisi, aktivis, media, dan jurnalis yang kritis kepada kekuasaan. Bagi Levitsky, pandangan seperti gelombang ketiga demokratisasi kelewat optimis karena yang sesungguhnya terjadi adalah otoritarianisme baru yang lahir dari kotak suara (baca: otoritarianisme kompetitif).

Buku ini menawarkan analisis yang tepat waktu tentang bagaimana para pemimpin yang terpilih dari kotak suara secara bertahap dapat melemahkan proses dan institusi demokrasi untuk mempertahankan kekuasaan mereka. Selain itu, buku ini diperkaya oleh contoh-contoh sejarah dari negara-negara seperti Jerman, Italia, Turki, Venezuela, dan Rusia, serta kasus-kasus kontemporer dari Amerika Serikat, Polandia, Hongaria, dan India, untuk mengilustrasikan bagaimana negara-negara demokrasi bisa mati dalam berbagai cara dan konteks.

Penulis berargumen bahwa demokrasi tidak hanya terancam oleh kudeta militer atau revolusi dengan kekerasan, namun juga oleh perubahan halus dan bertahap yang melemahkan mekanisme check and balances, supremasi hukum, masyarakat sipil, dan media yang menjadi pilar penting bagi demokrasi.

Meskipun tesisnya telah dipublikasikan sejak lama, ia mengakui bahwa buku How Democracies Die merupakan respon terhadap kecelakaan politik Amerika Serikat dengan terpilihnya Donald Trump sebagai presiden di 2016 lalu. Dengan kenyataan demikian, buku ini banyak mengambil pengetahuan dan pengalaman unik dari sejarah bapak pendiri bangsa Amerika Serikat sendiri. Tetapi, rentetan pelajaran yang diberikan dalam buku ini tidak sulit dicerna ke dalam konteks kekinian yang dekat dengan pembaca.

Untuk keperluan praktis, buku ini juga mengidentifikasi empat indikator utama perilaku otoriter yang dapat digunakan untuk mendiagnosis bahaya yang ditimbulkan oleh para pemimpin politik: penolakan atau lemahnya komitmen terhadap aturan main demokrasi; penolakan terhadap legitimasi lawan politik; toleransi atau dorongan terhadap kekerasan; dan kecenderungan untuk membatasi kebebasan sipil pihak lawan, termasuk media. Litmus ini sangat berguna untuk pemilik hak suara dalam melihat berbagai presiden dan calon presiden.

Buku ini juga mengkaji peran partai dan institusi politik dalam menjaga atau melemahkan demokrasi. Para penulis menekankan pentingnya dua norma yang telah menopang demokrasi Amerika selama lebih dari dua abad: saling toleransi (mutual toleration), yaitu pengakuan bahwa partai-partai yang menjadi lawan politik saling memiliki komitmen yang sama terhadap demokrasi; dan kehati-hatian terhadap kekuasaan yang dimiliki (forbearance), yaitu ketidakleluasaan dan pengekangan atas kekuasaan seseorang untuk menghormati nilai-nilai demokrasi dan menghindari penyalahgunaan kekuasaan secara konstitusional. Para penulis menunjukkan bagaimana norma-norma ini telah terkikis dalam beberapa dekade terakhir akibat polarisasi, ekstremisme, dan partisanisme, sehingga menciptakan lahan subur bagi kecenderungan otoriter.

Buku ini menggarisbawahi pengabaian kita terhadap norma dalam demokrasi. Bagi keduanya, hal yang lebih penting dalam demokrasi justru datang dari apa yang tak tertulis di hukum dan konstitusi. Kebijaksanaan yang kemudian menjadi norma atau kebiasaan dalam demokrasi ini muncul dari dua konsep penting di atas yaitu mutual toleration dan forbearance. Dengan begitu, setiap pihak yang bersaing dan memperoleh kekuasaan akan bekerja dalam koridor-koridor yang bermaslahat bagi kepentingan publik.

Jika tikungan sejarah demokrasi sedang berada dalam persimpangan. Norma-norma ini akan menjadi pedoman bagi para penjaga demokrasi.