Pada 14 Agustus 1945, Jepang menyerah tanpa syarat kepada sekutu usai dua bom nuklir menghancurkan Kota Hiroshima dan Nagasaki. Kaisar Hirohito memberitakan kekalahan atas Sekutu melalui siaran radio nasional Jepang. Siaran itu terdengar oleh pemuda-pemuda revolusioner di Batavia melalui radio bawah tanah.
Jepang harus mengubur impiannya untuk mendirikan Persemakmuran Asia Timur Raya dan bersiap untuk mangkat dari tanah-tanah jajahannya di Pasifik, termasuk Hindia Belanda.
Kekalahan Jepang dari Sekutu membuat terjadinya kekosongan kekuasaan di Hindia Belanda. Jepang yang sudah hancur tak mungkin lagi mengelola daerah jajahannya. Sementara Sekutu sebagai pemenang perang belum sampai di sana.
Terdapat silang pendapat golongan tua dan muda tanah air dalam menyikapi situasi ini.
Sukarno, Hatta, dan generasi tua lainnya yang telah menjalin hubungan dengan Jepang merasa perlu hati-hati dalam menyikapi kekalahan Jepang. Lagi pula, mereka sudah mengetahui bahwa Jepang sedang di ujung tanduk dan segera mungkin akan memberikan kemerdekaan bagi Indonesia.
Sementara golongan muda ingin merebut kemerdekaan itu dari Jepang. Proklamasi harus dilakukan tanpa anasir-anasir kolonial!
Dua hari setelah berita kekalahan Jepang atas Sekutu, tepatnya pada 17 Agustus 1945, kemerdekaan Indonesia diproklamasikan oleh dwitunggal republik, Sukarno-Hatta. Ini adalah republik pertama dari bangsa-bangsa terjajah yang memproklamasikan kemerdekaan secara sepihak tanpa campur tangan pihak kolonial.
Tukliwon, seorang pelaut Indonesia di Australia mendenger berita-berita itu dari radio di kantor Serikat Pelaut Indonesia (Sarpelindo) di Woolloomoolloo. Ia mendengar berita kekalahan Jepang di Pasifik sekaligus kemerdekaan Indonesia dan sontak menyebarkannya ke seluruh serikat buruh pelabuhan dan awak kapal di Australia.
Di sisi lain, Belanda menolak kemerdekaan Indonesia dan berusaha kembali menduduki bekas koloninya. Mereka berupaya untuk mengirimkan kekuatan militernya dari pelabuhan-pelabuhan di Australia.
Mendengar kabar ini, Tuk meminta dukungan dari serikat buruh untuk menghalangi usaha tersebut dari pelabuhan-pelabuhan di Australia.
Serikat buruh mendukung kemerdekaan Indonesia dengan pemogokan yang kemudian dikenal sebagai Black Armada.
Pemogokan menjalar. Para buruh yang mogok itu sadar bahwa kapal-kapal Belanda yang berangkat ke Indonesia nantinya akan menyiksa dan menjajah lagi Indonesia. Kapal-kapal itu juga dicurigai memuat senjata dan amunisi. Membiarkannya berlayar menuju republik yang baru lahir adalah dosa besar bagi para buruh itu.
Kapal-kapal Belanda pun tak kunjung berlayar ke Indonesia. Muatan-muatan tertahan. Gerakan pemogokan buruh-buruh Australia, yang mendukung kemerdekaan Indonesia itu, diabadikan oleh Joris Ivens dalam Indonesia Calling (1946).
Joris Ivens, seorang sineas berkebangsaan Belanda sedang singgah di Australia sebelum menuju ke Indonesia. Ivens yang menyaksikan peristiwa itu sebenarnya sedang mengemban sebuah misi kebudayaan dari Kerajaan Belanda di Indonesia.
Alih-alih membuat propaganda pro-Belanda, ia ikut mendukung sebuah negara baru yang bertentangan dengan misi sebelumnya. Dengan bantuan serikat buruh pelabuhan, ia menggarap sebuah film dokumenter yang menggambarkan pemogokan Black Armada berjudul Indonesia Calling (1946).
Buruh-buruh pelabuhan berkebangsaan Eropa, Cina dan India berhenti bekerja. Supir-supir mematikan mesinnya, kuli angkut tidak mau mengangkut muatan ke kapal Belanda, begitu juga dengan tukang cat kapal. Mereka melumpuhkan pelabuhan-pelabuhan di Australia.
“Brother, stop working. Brother, stop working.”
Film dokumenter ini sangat istimewa dalam linimasa sejarah Republik Indonesia karena menggambarkan sifat dekolonialisme itu sendiri yang melampaui batas-batas negara.
Indonesia Calling (1946) menjawab pertanyaan yang sering dilontarkan perihal kemerdekaan, ”Apakah kemerdekaan Indonesia diupayakan hanya oleh bangsanya sendiri di tanah air?”.
Sumbangsi terbesar Ivens adalah karyanya mampu menambah perspektif tentang siapa yang patriotik dalam proses kemerdekaan Indonesia. Karena pada kenyataannya proses dekolonisasi Asia-Afrika tidak bisa dipisahkan ke dalam batas-batas teritorial maupun imajiner.
Ini sejalan dengan temuan Ariel Heryanto mengenai dekolonisasi Indonesia dari masa lalu hingga saat ini. Ia melihat bahwa perdebatan etno-nasionalisme soal siapa yang paling punya andil atas kemerdekaan dan siapa paling "Indonesia" berangkat dari kegagalan kita untuk mengakui adanya solidaritas anti-kolonialisme di luar Indonesia.
Dalam Indonesia Calling (1946), Tukliwon dan serikat buruh pelabuhan Australia turut memiliki andil dalam melahirkan Indonesia.
Indonesia Calling | 1946 | Sutradara: Joris Ivens | Negara: Australia