Kita tengah berada dalam keadaan kalah dalam upaya memukul balik krisis iklim. Dan negara-negara di Belahan Bumi Utara (Global North)—negara-negara makmur yang memiliki perekonomian terbesar dan sektor industri dan konsumsinya menghasilkan gas rumah kaca terbanyak—lah yang paling bertanggung jawab dalam kekalahan ini.

Kita dapat melacak negara mana yang paling diuntungkan dari pembakaran bahan bakar fosil dan berapa banyak gas rumah kaca yang dihasilkannya. Kita juga tahu bagaimana negara-negara yang paling menderita akibat krisis iklim adalah negara-negara yang juga paling sedikit membakar bahan bakar fosil. Bukti-bukti menunjukkan bahwa krisis iklim adalah persoalan struktural yang memperburuk ketimpangan antara Utara-Selatan yang sudah mengakar sejak zaman kolonial dan belum kunjung terselesaikan hingga era poskolonial sekarang.

Melihat krisis iklim dalam kaca mata ketimpangan antara “Utara” dan “Selatan” membantu kita memahami sumber masalah ini. Istilah “Utara” dan “Selatan” digunakan untuk menggambarkan relasi kuasa yang timpang antar negara dalam segi ekonomi-politik.

“Utara” dan “Selatan” di sini bukan (hanya) merujuk pada letak geografis, tetapi pada perbedaan kondisi ekonomi-politik negara-negara yang diuntungkan dan dirugikan dalam struktur imperialisme global. Dalam struktur tersebut, negara-negara imperialis sejak zaman kolonial atau negara-negara Utara (Eropa Barat, Amerika Serikat, dan Jepang) diuntungkan oleh kolonialisme dan industrialisasi. Sementara itu, negara-negara Selatan hanya berperan sebagai pemasok sumber daya alam yang dieksploitasi dan tenaga kerja murah bagi negara-negara Utara. Dampaknya adalah pembangunan di negara-negara Utara, penghisapan di negara-negara Selatan, dan krisis iklim bagi semua pihak.

Meskipun telah terjadi pergeseran industrialisasi dan pembangunan ekonomi dari Utara ke Selatan sejak era poskolonial, kontribusi historis negara-negara Utara terhadap krisis iklim tidak dapat disangkal. Revolusi industri yang digerakkan oleh pembakaran bahan bakar fosil di Belahan Bumi Utara (Global North) memicu era pertumbuhan ekonomi sekaligus peningkatan gas rumah kaca yang belum pernah terjadi sebelumnya.

Dalam krisis iklim, ketimpangan antara “Utara” dan “Selatan” terlihat jelas dalam hal kontribusi dan kapasitas mencegahnya. Riset yang dipublikasikan di jurnal The Lancet Planetary Health pada 2020 lalu menyebutkan negara-negara Utara, yaitu AS, Kanada, Eropa, Israel, Selandia Baru, Australia, dan Jepang menyumbang 92 persen gas rumah kaca global sejak 1850 hingga 2015.


Negara-negara Selatan yang terdiri dari negara-negara di Asia, Afrika, Timur Tengah, dan Amerika Latin, hanya menyumbang 8 persen gas rumah kaca global. Meskipun berkontribusi paling sedikit, mereka justru menjadi korban utama dari dampak krisis iklim.

Negara-negara Utara memiliki lebih banyak sumber daya, teknologi, dan kekuasaan untuk mengurangi emisi gas rumah kaca, beradaptasi dengan dampak krisis iklim, dan memberikan bantuan kepada negara-negara yang membutuhkan. Negara-negara Selatan, sebaliknya, memiliki lebih sedikit sumber daya, teknologi, dan kekuasaan untuk melakukan hal-hal tersebut.

Oleh karena itu, penting bagi kita untuk melihat krisis iklim dari perspektif ketimpangan antara Utara dan Selatan. Sebab, krisis iklim bukan hanya masalah lingkungan semata, tetapi juga masalah keadilan global. Untuk menyelesaikan krisis iklim secara efektif dan adil, kita perlu memperhatikan sejarah, kapasitas, dan kepentingan dari berbagai pihak yang terlibat.

Bumi tidak peduli akan negara-negara Utara lah yang menyebabkan krisis iklim. Ia tidak peduli dari belahan bumi mana pembakaran bahan bakar fosil dan seperti apa motifnya. Kerusakan dari krisis iklim melampaui batas negara-negara. Tetapi, umat manusia yang mendesain kebijakan iklim bisa peduli pada prinsip keadilan di dalamnya.

Keadilan Iklim

Dalam menghadapi krisis ini, konsep keadilan iklim muncul sebagai panduan untuk memastikan bahwa tanggung jawab historis dan komitmen kebijakan iklim didistribusikan secara adil antar negara. Keadilan iklim mencakup komitmen terhadap keadilan, kesetaraan, dan hak atas pembangunan, dengan mengakui dampak krisis iklim yang tidak proporsional.

Oleh karena itu, penting bagi negara-negara Utara dan Selatan untuk berada dalam kerangka berpikir yang sama sebelum bekerja sama dalam menyelesaikan krisis ini. Ini berarti bahwa negara-negara Utara mengambil tanggung jawab yang lebih besar untuk mengurangi emisi mereka dan membantu negara-negara Selatan untuk adaptasi dan mitigasi terhadap krisis iklim.

Dalam beberapa tahun terakhir, negara-negara Utara telah membuat kemajuan dalam menyadari perlunya kebijakan iklim yang adil. Kemajuan tersebut hadir dalam upaya negara-negara Utara mengakomodir pendanaan iklim untuk negara-negara Selatan. Namun, pertanyaan mengenai apakah pendaan ini cukup dan disalurkan secara adil masih menjadi perdebatan

Faktanya, keadilan iklim yang dituntut negara-negara Selatan belum juga terwujud hingga hari ini. Meskipun tuntutan ini tidak bisa ditawar mengingat skala ancaman yang dihadapi oleh negara-negara Selatan melampaui kapasitas yang mampu mereka tanggung, para pemimpin negara-negara Utara masih terjebak pada hukum pasar dan logika untung-rugi.

Akibatnya, prinsip “tanggung jawab bersama yang dibedakan” (CBDR-RC) yang tetap dipertahankan sejak Protokol Kyoto hingga Perjanjian Paris terabaikan begitu saja. Salah satu pengabaian prinsip ini terlihat dari tidak terpenuhinya janji negara-negara Utara dalam pendanaan iklim Green Climate Fund (GCF).

Green Climate Fund (GCF) yang dibentuk pada tahun 2010 merupakan hasil dari pertemuan negara-negara yang telah dibahas sejak COP15 di Kopenhagen pada tahun 2009. Negara-negara Utara berjanji untuk memberikan bantuan US$100 miliar per tahun yang dimulai dari 2020 dan seterusnya untuk membantu negara-negara Selatan beralih ke ekonomi yang lebih hijau dan mempersiapkan mitigasi dari bencana iklim.

Selain janji pendanaan yang relatif terlalu kecil terhadap skala tantangannya, negara-negara Utara juga tidak memenuhi janji tersebut tepat pada waktunya. Dari data yang diambil dari Our World in Data berjudul “Financial support provided through the Green Climate Fund, 2011 to 2020“, negara-negara Utara hanya mampu memberikan setengah dari apa yang mereka janjikan untuk pendaan iklim di tahun 2020.


Optimisme untuk memukul balik krisis iklim semakin meredup karena dua alasan. Pertama, krisis ekonomi global karena Covid-19 dan peperangan antar negara membuat seluruh negara lebih disibukkan oleh isu-isu ekonomi dan keamanan nasional. Kedua, tindakan negara-negara saat ini jauh dari cukup untuk membatasi target kenaikan suhu global di angka 1.5°C yang telah disepakati di Perjanjian Paris 2015.

Pesimisme dalam memukul balik krisis iklim mengulangi pandangan pesimistis realisme terhadap permasalah dunia. Pemikiran realisme menjelaskan bagaimana aktor negara akan berperilaku tanpa pemeritahan dunia sebagai otoritas pusat yang mampu membatasi perilaku mereka. Kondisi tersebut menciptakan perilaku self-help di mana setiap negara bergantung pada sumber daya masing-masing untuk bertahan hidup. Di dunia yang demikian, segala bentuk kerja sama secara inheren rapuh. Kerja sama sulit terjadi jika negara harus mengorbankan kepentingan nasionalnya dalam jangka panjang.

Pemikir realis dari Thucydides hingga John Mearsheimer telah menyoroti sifat tragis dari politik internasional itu sendiri, yaitu dominasi negara-negara besar yang ditakdirkan untuk bersaing dan berperang bahkan ketika mereka tidak menginginkannya. Dalam dunia dimana keadilan adalah komoditas yang langka, negara-negara Selatan hanya akan menjadi pihak yang paling menderita meskipun berkontribusi paling sedikit dalam krisis iklim.

“The strong do what they can, and the weak suffer what they must”