Buku Why Nations Fail yang ditulis oleh dua ekonom terkemuka, Daron Acemoglu dan James A. Robinson, adalah salah satu buku ekonomi-politik paling menarik dan penting yang pernah saya baca. Buku ini dan Guns, Germs, and Steel karya Jared Diamond berperan dalam membentuk pemahaman saya dalam membaca sejarah panjang kemajuan manusia.
Untuk melengkapi diskursus kesenjangan antara negara kaya dan miskin, Acemoglu dan Robinson membawa kebaruan dan kontraargumen atas teori determinisme geografis Diamond. Menurut Acemoglu dan Robinson, faktor paling penting bukanlah geografi, budaya, sistem nilai, atau sistem ekonomi, melainkan desain institusi.
Buku ini menjadi bacaan wajib dalam mata kuliah yang saya ampu yaitu “Dinamika Ekonomi-Politik Negara-Negara Amerika Latin”. Sebagai mahasiswa baru yang semangat mendiskusikan teori-teori ketergantungan (dependencia) dari buku-buku Arief Budiman, saya menunggu mata kuliah ini sejak tahun awal perkuliahan. Mata kuliah ini meliputi beberapa topik saya minati: kolonialisme; dekolonisasi; ekonomi pembangunan; dan demokrasi. Acemoglu dan Robinson membangun argumennya dalam tema-tema tersebut dan yang pada akhirnya secara signifikan membentuk cara berpikir saya hingga hari ini.
Buku ini menjelaskan bagaimana faktor-faktor politik dan ekonomi mempengaruhi nasib suatu negara, dan mengapa beberapa negara menjadi kaya dan makmur, sementara yang lain tetap miskin dan tertinggal. Pertanyaan besar tersebut dijawab oleh keduanya dengan menunjukkan pentingnya desain institusi, yang menyatakan bahwa kualitas institusi politik dan ekonomi suatu negara adalah penentu utama kemajuan atau kemunduran negara tersebut.
Keduanya membagi institusi politik dan ekonomi menjadi dua jenis: inklusif atau ekstraktif. Institusi inklusif adalah institusi yang memberikan kesempatan, struktur insentif yang bisa diakses seluruh masyakat, dan kebebasan bagi seluruh masyarakat untuk berpartisipasi dalam proses politik dan ekonomi. Sementara institusi ekstraktif adalah institusi yang dirancang untuk menguntungkan segelintir elit yang berkuasa dan menghisap sumber daya dan tenaga kerja dari masyarakat luas.
Buku ini menunjukkan bahwa negara-negara yang memiliki institusi inklusif cenderung memiliki pertumbuhan ekonomi yang tinggi, inovasi teknologi berlimpah, dan kesenjangan yang kecil. Sebaliknya, negara-negara yang memiliki institusi ekstraktif cenderung mengalami stagnasi ekonomi, kemiskinan kronis, kesenjangan lebar, dan ketidakstabilan politik.
Buku ini menggunakan berbagai contoh-contoh sejarah yang mencolok dari berbagai belahan dunia untuk mendukung argumennya. Beberapa contoh yang menarik adalah:
- Mengapa Korea Utara dan Korea Selatan memiliki perbedaan yang sangat besar dalam hal kemakmuran, padahal mereka memiliki kondisi geografis, budaya, dan sejarah yang sama?
- Mengapa Botswana menjadi salah satu negara paling makmur di Afrika, sementara Zimbabwe menjadi salah satu negara paling miskin di dunia, padahal mereka berada di wilayah yang sama dan memiliki sumber daya alam yang melimpah?
- Mengapa Amerika Serikat menjadi salah satu negara paling demokratis dan inovatif di dunia, sementara Amerika Latin masih bergumul dengan masalah korupsi, ketimpangan, dan kekerasan?
Institusi, Institusi, Institusi
- Politik adalah hal yang terpenting: keberadaan institusi politik yang diorganisir secara tersentralisasi dan pluralistik adalah kunci keberlanjutan keberadaan institusi ekonomi inklusif.
- Institusi inklusif tidak tercipta dengan sendirinya, tetapi merupakan hasil dari perjuangan politik antara berbagai kelompok masyarakat. Oleh karena itu, perubahan institusional membutuhkan partisipasi aktif dari masyarakat sipil.
- Institusi inklusif tidak bersifat statis, tetapi harus terus diperbarui dan disesuaikan dengan tantangan zaman. Oleh karena itu, pembangunan institusional membutuhkan komitmen jangka panjang dari para pemimpin politik dan kontrol masyarakat.
Jika institusi inklusif dapat menciptakan kemakmuran, mengapa hanya sedikit negara yang memilih membangun institusi ini? Jawabannya sangat kompleks. Beberapa negara membutuhkan waktu yang sangat lama untuk mendemokratisasi dan mendirikan institusi inklusif. Proses ini melibatkan peristiwa sejarah yang memiliki dampak bagi masa depan (critical juncture). Apa yang disebut dengan ciritical juncture ini dapat mempengaruhi suatu negara sedemikian rupa sehingga perbedaan-perbedaan kecil dalam institusi dapat terjadi secara terus menerus dan terakumulasi (institutional drift). Critical juncture inilah yang menentukan apakah sebuah bangsa mengambil jalur menuju institusi yang inklusif atau menuju pada institusi yang ekstraktif. Critical juncture ini merupakan variable di dalam sejarah yang tidak dapat diprediksi.
Kolonialisme di Dunia Baru (baca: benua Amerika) adalah contoh terbaik bagimana peristiwa sejarah (critical juncture) membawa konsekuensi besar di kawasan dan membawa perubahan institusi (institutional drift).
Acemoglu dan Robinson melihat bahwa perbedaan institusi di antara kekuatan kolonial pada awalnya tidak jauh berbeda. Spanyol, Prancis, Belanda, dan Inggris berada di bawah kekuasaan monarki absolut pada awal abad ke-15.
Setelah penemuan Dunia Baru, penjajah Spanyol (Spanish Conquistadors) lebih dulu mengkolonisasi wilayah paling ‘berharga’ di Amerika yang kaya akan logam mulia seperti perak dan emas di Meksiko, Bolivia, dan Peru. Sebaliknya, Inggris yang datang setelahnya terjebak pada wilayah yang miskin sumber daya dan berpopulasi kecil di Amerika Utara. Namun, dalam 200-300 tahun setelahnya, Inggris justru menjadi imperium paling makmur yang mengawali revolusi industri alih-alih Spanyol dan Prancis.
Keuntungan lebih besar yang didapat oleh Spanyol membuat mereka memonopoli semua perdagangan yang berasal dari wilayah jajahan. Spanyol mengeksploitasi penduduk asli dan hanya menggunakan wilayah tersebut untuk mengekstraksi sumber daya, yang kemudian berakhir di perbendaharaan Kerajaan Spanyol. Akumulasi sumber daya alam dari penghisapan tersebut tidak mengarah pada pertumbuhan ekonomi. Padahal, pertumbuhan ekonomi yang bergantung pada pertumbuhan produktivitas, kemajuan teknologi, dan penghancuran kreatif (creative destruction) menjadi bahan bakar bagi kemajuan masyarakat. Monopoli perdagangan dan penimbunan logam mulia oleh Spanyol sama sekali tidak menguntungkan masyarakatnya.
Selanjutnya, penjajah Spanyol (Spanish Conquistadors) menempatkan Amerika Latin pada jalur institusi ekstraktif. Para penjajah Spanyol di Amerika Latin berhasil memaksakan kehendak mereka pada penduduk asli, menambang tanah untuk mendapatkan sumber daya alam, dan membangun sistem yang hanya akan memperkaya elit kolonial dan kerajaan Spanyol. Institusi ekstraktif yang diciptakan oleh struktur kolonial bertahan dan menyejarah hingga kini—di mana pemerintah melanggar hak kepemilikan dan memusatkan kekayaan dan kekuasaan pada sekelompok elit.
Kolonialisme Kerajaan Inggris sedikit berbeda dengan apa yang dilakukan Spanyol di Amerika Latin. Ketidakberlimpahan sumber daya di wilayah jajahan Inggris di Amerika Utara membuat perdagangan dengan dunia baru tidak sepenuhnya dimonopoli oleh negara. Inggris harus menciptakan struktur insentif sendiri di wilayah jajahan yang mengarah pada perumbuhan yang partisipatif. Struktur insentif tersebut menciptakan kelas sosial baru dari para pedagang yang mulai memainkan peran penting. Munculnya kelas yang makmur ini menyebabkan institusi politik menjadi lebih inklusif karena mereka menuntut lebih banyak kebebasan sipil dari kerajaan.
Selain apa yang terjadi di wilayah jajahan, pandemi Wabah Hitam (black death) juga memberikan guncangan pada feodalisme di Inggris yang memperkuat otonomi dan kekuasaan para petani dihadapan kerajaan. Pergeseran institusi (institutional drift) dari ekstraktif menuju inklusif yang terjadi di Inggris kemudian mengilhami keinginan masyarakat luas akan keamanan hak milik dan partisipasi politik yang lebih luas. Hal-hal tersebut kemudian memunculkan Magna Charta dan menguatnya peran parlemen.
Di Inggris, perkembangan institusi politik yang lebih inklusif menyebabkan institusi ekonomi menjadi lebih inklusif dan hal ini, pada gilirannya, memberikan umpan balik positif terhadap perkembangan institusi politik yang lebih inklusif, dan seterusnya.
Ketika suatu negara sudah mulai bergerak menuju institusi inklusif, maka umpan balik yang positif mungkin akan membantu menjaga institusi tersebut tetap berada pada tempatnya. Sebaliknya, institusi ekstraktif juga akan tertahan oleh ketakutan kelas penguasa akan penghancuran kreatif (creative destruction) yang diakibatkan oleh perubahan, sehingga menghasilkan lingkaran setan (vicious circle).
Namun, perbedaan institusional kecil yang penulis sebut sebagai **“institutional drift” dari waktu ke waktu dapat berinteraksi dengan “critical juncture” untuk menghasilkan perubahan arah sejarah. Dengan menganalisis evolusi desain institusi dalam latar belakang sejarahnya, Acemoglu dan Robinson berargumen bahwa kita dapat lebih memahami mengapa beberapa negara kaya dan negara lain miskin, bagaimana pola tersebut berubah seiring waktu, dan bahkan bagaimana masalah kesenjangan global dapat diatasi.
Buku ini memberikan jawaban yang meyakinkan untuk pertanyaan-pertanyaan soal kesenjangan, dengan menunjukkan bagaimana sejarah politik dan ekonomi masing-masing negara membentuk institusi-institusi mereka. Buku ini memberikan beberapa pelajaran penting bagi pembaca, seperti:
Secara keseluruhan, buku ini sangat relevan bagi kalangan akademia, pemangku kebijakan, dan masyarakat sipil yang memiliki komitmen pada kebebasan. Buku ini begitu kaya akan temuan-temuan historis yang faktual dengan mencakup kawasan yang sangat luas mulai dari Eropa, Amerika Utara, Amerika Latin, dan negara pasca-kolonial, sehingga pembaca mampu mengenali pola sejarah dalam distribusi kemakmuran. Buku ini menjadi karya akademik yang terbit di momen yang tepat ketika dunia masih dihadapi oleh kesenjangan yang bahkan semakin melebar.
Pembahasan mengenai institusi ekstraktif begitu relevan apabila kita melihat situasi riil Indonesia saat ini. Kegagalan negara menyediakan barang publik dan beberapa kebijakan negara yang berusaha memberangus keterlibatan publik menegaskan hal tersebut. Oleh karena itu, kita perlu untuk mempertanyakan kembali tipe pertumbuhan ekonomi seperti apa yang ingin dijalankan oleh negara.
Mengakui adanya warisan institusi kolonial yang ekstraktif dan membandingkannya dengan pengalaman negara lain dapat membantu Indonesia mewujudkan kemakmuran dan kesejahteraan yang adil. Bagaimana caranya? Tentu saja dengan mendorong pertumbuhan stabil dalam jangka waktu yang panjang dalam institusi inklusif. Meskipun pertumbuhan masih bisa terjadi di institusi ekstraktif, tetapi pertumbuhan dengan praktik klientelisme ini berada di bawah kontrol negara dan menyesuaikan kepentingan para elit politik dari pada kreativitas dan inovasi masyarakat. Kebebasan adalah harga yang harus dibayar oleh pertumbuhan yang tidak inklusif dengan menghilangkan kontrol dari masyarakat.
Why Nations Fail membantu kita menyelami pilihan-pilihan politik dan ekonomi bagi Indonesia dan khususnya menjawab kebingungan dalam melihat seperti apa bentuk pertumbuhan dan pembangunan ekonomi yang tepat.