Forum diskusi Dynamic Talks dalam rangkaian kegiatan Pasar Seni ITB mempertanyakan hal mendasar dalam topik energi terbarukan, “Apakah energi terbarukan menjadi sebuah tren daripada kebutuhan?”. Atau, “Apakah tren pengindustrian energi terbarukan yang muncul di Barat ini hanya menimbulkan gejala fear of missing out (FOMO) untuk negara-negara berkembang?”.

Saat ini, diskusi seputar energi tidak dapat dilepaskan dari isu krisis iklim. Sebab, sebagian besar karbon yang lepas ke atmosfer sejak awal Revolusi Industri adalah hasil pembakaran bahan bakar fosil.

Selain tak ramah lingkungan, bahan bakar fosil adalah komoditas yang terbatas dan membutuhkan waktu yang sangat lama dalam melakukan regenerasi. Sementara, kebutuhan kita akan energi semakin hari akan semakin meningkat seiring bertambahnya populasi dunia.

Kebuhtuhan alternatif komoditas energi menjadi semakin mendesak. Dihadapkan oleh dua persoalan ini, manusia perlu alternatif yang mampu menyelesaikan masalah lingkungan sekaligus memenuhi kebutuhan energi global yang bergerak eksponensial.

Energi terbarukan seperti energi surya, energi angin, geothermal, biofuel dan lain sebagainya merupakan komoditas alternatif selain bahan bakar fosil untuk memenuhi kebutuhan energi.

Tetapi, perlu digaris bawahi bahwa komoditas-komoditas tersebut tidak ada yang 100 persen efisien dan ramah lingkungan. Energi “ramah lingkungan” pada kenyataanya tetap menghasilkan limbah. Tetapi, paling tidak energi “ramah lingkungan” jauh lebih baik daripada pembakaran bahan bakar fosil yang menghasilkan gas rumah kaca.

Energi Terbarukan untuk Indonesia

Layaknya negara-negara yang meratifikasi Perjanjian Paris 2015, Indonesia memiliki tanggung jawab politik untuk melakukan transisi energi guna menyelesaikan persoalan.

Namun, Indonesia akan tetap bergantung dengan energi fosil hingga 2050. Mengapa demikian? Ketergantungan ini tentu saja ditujukan untuk memenuhi kebutuhan energi dalam negeri sekaligus meningkatkan konsumsi energi yang berkelindan dengan pembangunan manusia atau yang biasa digambarkan dengan angka Human Development Index (HDI).

Semakin tinggi nilai HDI, maka semakin sejahtera lah manusianya. Tetapi, meningkatnya angka HDI dalam suatu masyarakat juga didorong oleh konsumsi listrik per kapita.

Konsumsi listrik Indonesia masih berada di sekitar angka 1000 KWh per kapita. Sementara, angka konsumsi listrik bagi negara maju yang rakyatnya sejahtera adalah 4000 KWh per kapita. Tentu saja,  kita sedang bergerak ke arah itu dan kita akan membakar lebih banyak bahan bakar fosil.

Indonesia patut bersyukur karena berada dalam wilayah yang kaya akan sumber energi non-fosil seperti energi geothermal, angin, air, dan sinar matahari. Jika Indonesia benar-benar serius memanfaatkan potensi ini, energi terbarukan dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan domestik hingga substitusi impor.

Pemerintah sebenarnya telah membuat target bauran Energi Baru Terbarukan (EBT) sebanyak 23 persen pada 2025. Target tersebut diproyeksikan dalam asumsi pertumbuhan ekonomi Indonesia di angka 7-8 persen. Alhasil, target tersebut menjadi mustahil direalisasikan sebab pertumbuhan ekonomi Indonesia tidak beranjak dari angka 5 persen hingga kini.

Permasalahan energi memang sangat kompleks. Mulai dari sentuhan teknologi yang belum sempurna, literasi energi yang rendah, pertumbuhan ekonomi yang stagnan, rendahnya permintaan pasar hingga komitmen politik, semuanya terkait satu sama lain.

Namun, dibalik semua masalah di atas, forum diskusi hari itu sepakat dalam tiga hal. Pertama, energi terbarukan merupakan sebuah tren yang dibutuhkan. Kedua, Indonesia harus siap dalam transisi menuju energi terbarukan. Ketiga, intervensi pemerintah berupa regulasi sangat dibutuhkan untuk mendorong proses ini. 

Transisi menuju energi terbarukan tidak dapat dihindari. Cepat atau lambat kita akan sampai di keadaan itu. Meminjam istilah Wallace-Wells, krisis iklim adalah semacam utang moral dan ekonomi, yang menumpuk sejak awal Revolusi Industri, dan sekarang jatuh tempo sesudah beberapa abad.

Dengan demikian, sama halnya seperti gerakan nol sampah dan memilih pemimpin pro-lingkungan, transisi menuju energi terbarukan adalah pilihan etis, ekonomis, dan politis.