"tidak aman untuk mempercayai mereka yang tidak berpengalaman mengelola pemerintahan."
Banyak filsuf Barat modern lain seperti Montesquieu, Rousseau dan Nietzsche juga bersikap kritis terhadap demokrasi.
Pandangan ini sudah terdengar jauh sebelum melemahnya kualitas demokrasi saat ini, terutama jika menyangkut kesesuaian demokrasi sebagai bentuk pemerintahan untuk sebagian besar negara di dunia. Hakim dan ekonom yang dihormati Richard Posner, misalnya, menulis pada tahun 2010 bahwa
“Kediktatoran sering kali optimal untuk negara-negara yang sangat miskin. Negara seperti itu cenderung tidak hanya memiliki ekonomi yang lemah tetapi juga tidak memiliki prasyarat budaya dan kelembagaan untuk demokrasi.”
Saat ini catatan hitam demokrasi lebih panjang. Ia disalahkan atas kebuntuan, ketidakefektifan, ketidakmampuan untuk mereformasi, dan tentu saja terpilihnya kandidat yang buruk. Dengan semua disfungsi ini, tidak mengherankan jika demokrasi mengalami masalah ekonomi. Dan bukankah berarti demokrasi tidak begitu baik untuk pertumbuhan ekonomi?
Kebenarannya sedikit berbeda. Demokrasi baik untuk pertumbuhan ekonomi. Negara-negara yang melakukan demokratisasi —beralih dari rezim non-demokrasi seperti kediktatoran militer, monarki atau otokrasi ke rezim demokratis— tumbuh lebih cepat dalam 20 tahun ke depan atau lebih, dan berakhir dengan pendapatan per kapita 20 persen lebih tinggi.
Korea Selatan mengilustrasikan hal demikian. Keajaiban pertumbuhan Korea Selatan sering diidentikkan dengan para pemimpin otoriternya pada 1960-an, seperti Jenderal Park Chung-hee, yang mengarahkan pembangunan berbasis industrialisasi. Tetapi pertumbuhan melambat pada tahun 1980 setelah mencapai pendapatan per kapita yang hanya sekitar sepertiga dari Jepang.
Protes dari mahasiswa, serikat pekerja dan pro-demokrasi selama satu dekade akhirnya menjatuhkan pemerintah militer pada Juni 1987, dan pertumbuhan ekonomi tahunan mencapai hampir 5 persen selama dua dekade berikutnya. Pendapatan per kapita Korea Selatan saat ini hanya 30 persen lebih rendah dari Jepang.
Bagaimana itu bisa terjadi? Bukankah Tiongkok yang nondemokratis mengalami keajaiban dengan pertumbuhan terbesar sepanjang masa? Bukankah sebagian besar pundit percaya bahwa demokrasi buruk untuk pertumbuhan atau paling tidak netral? Bukankah demokrasi sangat buruk dalam mengadopsi reformasi yang akan mendorong pertumbuhan ekonomi, seperti memberantas korupsi atau membongkar monopoli?
Tentu saja demokrasi tidak dapat berfungsi dalam masyarakat miskin atau berpendidikan rendah; bukankah implikasi ekonominya mengarah pada bencana? Dan bukankah semua masalah yang dialami demokrasi di seluruh dunia saat ini adalah bukti dari kelemahannya?
Saya akan membahas masing-masing dari lima poin ini secara bergantian.
Pertumbuhan Tiongkok memang sangat mengesankan. Tidak ada negara demokratis yang mampu mendekati kegemilangan tersebut. Tetapi membandingkan pertumbuhan China dari akhir 1970-an, ketika pendapatan per kapitanya kurang dari $300 per tahun, dengan tingkat pertumbuhan di Jerman atau Amerika Serikat sangat tidak adil.
Pertanyaan yang lebih tepat adalah apakah Jerman akan tumbuh lebih cepat dalam dua dekade terakhir seandainya negara itu menjadi negara nondemokratis dan apakah China akan tumbuh lebih lambat jika negara itu demokratis. Pertanyaan kontrafaktual ini selalu sulit dijawab dan memerlukan pendekatan statistik untuk membentuk perkiraan yang masuk akal tentang bagaimana pertumbuhan akan berjalan jika rezim politik negara berbeda.
Pendekatan paling sederhana adalah dengan menghindari perbandingan lintas negara sederhana seperti menumpuk pertumbuhan China terhadap Jerman, tetapi untuk melihat bagaimana lintasan pertumbuhan suatu negara berubah setelah demokratisasi (atau menjadi non-demokratis). Jenis analisis inilah yang paling jelas mengungkapkan defisit pertumbuhan negara-negara nondemokrasi.
Konsensus dalam diskusi populer dan pandangan yang diungkapkan dalam beberapa makalah akademis adalah bahwa demokrasi tidak baik untuk pertumbuhan.
Pandangan keliru ini memiliki beberapa sumber. Pertama dan terutama, sebagian besar didasarkan pada perbandingan acak dari pengalaman pertumbuhan beberapa negara demokratis dengan beberapa negara non-demokratis —seperti membandingkan pertumbuhan China dengan negara-negara Barat— daripada analisis statistik yang cermat.
Untuk memahami alasan kemungkinan kedua, penting untuk dicatat terlebih dahulu bahwa rezim nondemokratis sering gagal ketika ekonomi mereka merosot. Jadi demokrasi sering mewarisi ekonomi yang kacau balau. Membandingkan ekonomi beberapa tahun setelah demokratisasi dengan beberapa tahun sebelum munculnya demokrasi kemungkinan akan memberikan kesan yang menyesatkan tentang apa implikasi demokrasi dalam mendorong ekonomi.
Akhirnya, layaknya Plato dan Aristoteles, banyak intelektual sering curiga terhadap pengambilan keputusan demokratis, menyoroti kelemahan demokrasi dan mengabaikan keberhasilannya.
Ada pandangan bahwa demokrasi buruk dalam reformasi ekonomi, sering didukung oleh argumen bahwa Anda memerlukan tangan besi seorang diktator untuk mendorong reformasi, seperti yang dilakukan Jenderal Augusto Pinochet di Chili setelah ia menggulingkan pemerintahan Salvador Allende yang dipilih secara demokratis pada tahun 1973 (dan membantai lebih dari 3.000 orang).
Saat ini, ada terlalu banyak dukungan kepada pemerintah otoriter yang dianggap lebih cocok untuk menerapkan reformasi .
Tetapi lagi-lagi, kebenaran malah justru sebaliknya. Di berbagai bidang, demokrasi jauh lebih mungkin untuk mengadopsi reformasi yang ramah pasar. Ketika sebuah negara memulai demokrasi, ia sering melakukan serangkaian reformasi, membatalkan serangkaian peraturan dan monopoli yang tidak efisien yang dilembagakan oleh rezim non-demokratis sebelumnya.
Kecenderungan untuk mengadopsi reformasi pasar ini adalah salah satu alasan demokratisasi meningkatkan pertumbuhan ekonomi, meskipun itu bukan satu-satunya. Sebagian sebagai akibat dari reformasi ini dan sebagian karena perubahan ekonomi dan sosial lain yang dibawa oleh demokrasi, investasi meningkat setelah demokratisasi, dan ini bersama dengan reformasi bertanggung jawab atas peningkatan pertumbuhan dalam beberapa tahun setelah dimulainya demokrasi.
Tetapi perubahan yang paling menonjol setelah demokratisasi bukanlah reformasi pasar atau investasi. Demokrasi meningkatkan pajak dan membelanjakan lebih banyak untuk pendidikan dan kesehatan, mempersiapkan ekonomi untuk mencapai produktivitas yang lebih besar dalam beberapa dekade mendatang.
Tampaknya masuk akal bahwa, seperti kutipan Richard Posner di atas, ketika pemilih berpendidikan rendah atau ekonomi jauh dari modern, demokrasi seharusnya memiliki masalah yang lebih besar dan negatifnya mungkin lebih besar daripada positifnya.
Namun data menunjukkan sesuatu yang berbeda. Demokratisasi bahkan di negara-negara berpenghasilan rendah dan pendidikan rendah tampaknya mengarah pada pertumbuhan yang lebih cepat.
Sulit disangkal bahwa beberapa negara mungkin belum siap untuk demokrasi, namun hal ini tampaknya tidak banyak berkaitan dengan tingkat pendidikan atau struktur ekonomi, melainkan dengan budaya politik negara tersebut.
Misalnya Libya setelah jatuhnya diktator yang berkuasa lama, Kolonel Moammar Qaddafi. Demokrasi pasti menemui tantangan di sana karena Qaddafi telah memerintah negara itu dengan mengeksploitasi perbedaan suku untuk menopang rezimnya dan menahan diri untuk membangun kapasitas negara yang paling mendasar di luar militernya.
Negara ini juga dipenuhi dengan senjata dan kelompok bersenjata. Dalam lingkungan seperti itu, demokrasi memang menjadi jauh lebih sulit untuk dipertahankan.
Dalam hal ini, 20 persen atau lebih peningkatan pendapatan per kapita setelah demokratisasi adalah luar biasa. Nilainya akan jauh lebih besar dalam kondisi yang benar-benar demokratis. Peningkatan 20 persen dari demokrasi termasuk kasus-kasus seperti Libya.
Ya, demokrasi sedang terpojok. Tetapi bukti bahwa demokrasi itu baik untuk pertumbuhan tidak secara langsung menunjukkan apakah demokrasi itu mudah dijalankan. Juga tidak menyiratkan bahwa negara-negara nondemokratis akan mulus bertransisi ke demokrasi.
Demokrasi membutuhkan usaha dan akan sering menemui hambatan. Ancaman terhadap demokrasi bukan hanya datang dari aktor internasional yang kuat seperti Rusia dan Tiongkok saat ini. Masalah yang paling penting bukanlah eksternal, tetapi internal.
Pertama, demokrasi menciptakan pecundang sekaligus pemenang. Bagaimanapun, sekelompok kecil orang yang harus membayar pajak yang lebih tinggi dan kehilangan monopoli cenderung tidak terlalu senang dengan itu.
Pertarungan ini, terutama ketika yang kalah cukup kuat untuk merusak demokrasi, adalah salah satu alasan utama mengapa nasib banyak negara demokrasi berada di ujung tanduk.
Yang lebih penting adalah apa yang terjadi baru-baru ini di Amerika Serikat hingga Hongaria, Turki dan Venezuela: pengawasan dan norma-norma demokrasi sering kali menghalangi orang-orang kuat (baca: populis, anti-demokrasi) yang bersemangat untuk melemahkan dan menghancurkan demokrasi itu sendiri.
Demokrasi menjadi lebih sulit selama masa krisis karena menguatnya polarisasi atau keengganan yang lebih besar untuk berkompromi, yang merupakan pilar penting demokrasi.
Semua ini bukan alasan untuk meremehkan demokrasi, tetapi sebaliknya untuk mendukungnya dengan penuh semangat. Demokrasi bisa rapuh. Terkadang macet, terkadang terpolarisasi, terkadang konfrontatif. Jarang yang mulus.
Bagaimanapun, demokrasi bukan hanya rezim terbaik yang kita miliki untuk melindungi hak-hak dan memberi masyarakat sipil suara, tetapi juga jauh lebih baik daripada alternatif lain untuk ekonomi kita. Dalam hal ini, ungkapan terkenal Churchill tentang demokrasi menjadi lebih bermakna:
“Tidak ada yang berpura-pura percaya bahwa demokrasi itu sempurna atau bijaksana. Memang telah dikatakan bahwa demokrasi adalah bentuk pemerintahan yang paling baik daripada semua bentuk lain yang telah dicoba dari waktu ke waktu”.
Apa yang tidak dikatakan Churchill tetapi sama pentingnya adalah bahwa demokrasi juga membutuhkan usaha keras dan perlu dipertahankan jika kita ingin menikmati keuntungan yang relatif lebih baik daripada bentuk pemerintahan lain yang telah dicoba dari waktu ke waktu. Dan itu dimulai dengan pertama-tama mengenali apa yang ditawarkan demokrasi dan kemudian mengakui bahwa hanya kita sendiri, masyarakat sipil, yang memberdayakan dan yang dapat memikul tanggung jawabnya.
*Daron Acemoglu adalah seorang profesor ekonomi di Massachusetts Institute of Technology (MIT) and penulis buku "Why Nations Fail: The Origins of Power, Prosperity, and Poverty”.
*Catatan: setelah membaca tulisan ini, Anda akan mendapatkan gambaran yang lebih luas lagi seputar hubungan antara sistem politik dan ekonomi dalam buku yang ia tulis bersama James Robinson, Why Nations Fail.
**Artikel ini adalah terjemahan dari tulisan Daron Acemoglu di Bloomberg berjudul "The Democracy Dividend: Faster Growth", edisi 17 Juni 2018. Diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia demi tujuan rekreasi pikiran semata.