Banyak orang percaya bahwa kemakmuran hanya berasal dari kerja keras dan semangat kewirausahaan individu. Faktor individual yang determinan mengimplikasikan peran negara yang terbatas untuk mendorong kemakmuran bersama. Mereka percaya bahwa siapa pun dapat mencapai kemakmuran dengan keterampilan, sikap, dan peluang yang tepat. Mereka juga berasumsi bahwa kemakmuran tersebar merata di seluruh negara dan wilayah, dan kesenjangan yang ada bergantung pada seberapa besar usaha individu untuk bekerja lebih keras.
Banyak juga yang percaya bahwa variasi genetik memainkan peran penting bagi kemakmuran. Argumen ini sudah ada sejak lama dan digunakan untuk melanggengkan praktik kolonialisme. Mereka menyebut bahwa budaya dan tradisi sebagai hasil dari variasi genetik menentukan kemajuan suatu negara.
Orang-orang yang hidup di wilayah tanpa musim dingin mewariskan kecenderungan hidup malas, tidak semangat, dan tidak berpikir panjang. Tidak adanya musim dingin berarti tidak adanya kebutuhan untuk berlindung dan memiliki cadangan makanan dari kondisi yang tidak bersahabat.
Oleh karena itu, hanya orang-orang yang hidup di wilayah bermusim dingin yang mewarisi variasi genetik untuk mendukung kemakmuran. Adanya keistimewaan yang bersifat inheren dari variasi genetik ini menciptakan keyakinan akan adanya supremasi ras tertentu. Sejarah mencatat bahwa kolonialisme dan fasisme lahir dari keyakinan ini.
Pandangan di atas merupakan mitos kemakmuran. Kajian ekonomi-politik telah menunjukkan bahwa kemakmuran bukan suatu fenomena yang terjadi secara spontan, melainkan suatu proses yang kompleks dan dinamis yang bergantung pada banyak faktor, yang sudah tentu tidak mensyaratkan variasi genetik ras tertentu.
Mitos-mitos akan kemakmuran tidak berhenti di sana. Mitos kebudayaan dan kebodohan juga tidak jarang digunakan untuk menjelaskan kesenjangan kemakmuran di berbagai wilayah.
Mitos kebudayaan pernah dipopulerkan oleh Max Weber yang mengatakan bahwa gerakan Reformasi Protestan dan etos kerja mereka menjadi “bahan bakar” bagi kebangkitan masyarakat industri modern di Eropa Barat. Mitos ini populer ketika Eropa Barat merayakan revolusi industri sehingga dianggap mampu menjelaskan mengapa Inggris dan Jerman lebih makmur daripada Spanyol dan Italia pada abad ke-19. Mitos ini pada faktanya gagal menjelaskan kemakmuran pada masyarakat dengan kepercayaan lain, misalnya Kekaisaran Jepang setelah Restorasi Meiji di abad yang sama.
Selain itu, mitos kebudayaan juga mengabaikan fakta bahwa industrialisasi Eropa Barat tidak bisa dilepaskan dari kolonialisme dan imperialisme. Proses akumulasi keuntungan ekonomi yang dihasilkan oleh praktik-praktik ekstraktif (tanam paksa dan perbudakan) di wilayah jajahan adalah “bahan bakar” utama dari kemakmuran yang mereka rasakan. Kebudayaan tidak pernah menjadi faktor determinan dari kemakmuran. Mitos ini terdengar fatalistik dan dangkal karena cenderung mengasosiasikan budaya-budaya tertentu ke dalam kondisi keterbelakangan.
Mengarahkan telunjuk pada beberapa individu yang berkuasa juga terlalu sederhana untuk memahami persoalan kemakmuran. Mitos kebodohan (ignorance) menyebut bahwa kemiskinan hadir karena para penguasa tidak tahu cara memakmurkan bangsanya yang melarat. Menurut pandangan ini, “Para ekonom dan pembuat kebijakan lah orang patut disalahkan atas kebodohan mereka!”.
Implikasi kebijakan dari argumen kebodohan adalah bahwa tantangan ekonomi dapat diatasi jika kebijakan ekonomi yang baik ditawarkan oleh para pembuat kebijakan. Padahal, institusi politik dan ekonomi lah menentukan kebijakan mana yang baik atau buruk. Contohnya, di bawah institusi politik ekstraktif, para penguasa mungkin menganggap perbudakan adalah kebijakan yang baik untuk menghasilkan sumber daya. Oleh karena itu, mitos ini dikritik karena mengabaikan dinamika dari proses pembuatan kebijakan dalam institusi.
Kesalahan kebijakan di suatu negara terkadang bukan bersumber dari kebodohan penguasa melainkan mereka sengaja memilih untuk itu. Kemakmuran tidak bisa direduksi dengan hanya melihat sebagian dari faktor ekonomi. Faktor-faktor politik seperti korupsi, pemburu rente, oligarki, dan lain sebagainya juga memainkan peran yang penting.
Otoritarianisme menjadi mitos paling baru terkait kemakmuran. Seiring dengan kebangkitan ekonomi Tiongkok dalam skala yang belum pernah terjadi dalam sejarah dan orang-orang yang juga skeptis terhadap efektivitas demokrasi, percaya bahwa rezim otoriter mampu menawarkan akselerasi dan efektivitas pertumbuhan dan pembangunan.
Daron Acemoglu dan James Robinson dalam buku Why Nations Fail merupakan pengkritik utama mitos otoritarianisme. Temuan keduanya menitikberatkan pada kualitas institusi yang akan menentukan kemakmuran. Keduanya membagi kualitas individu dalam dikotomi inklusif dan ekstraktif. Temuan ini meletakkan pondasi bagi pengkritik model ekonomi Tiongkok yang dianggap tidak berkelanjutan. Pertumbuhan a la Tiongkok dianggap bertentangan dengan masalah inheren dari kemakmuran itu sendiri yakni tuntutan untuk kebebasan.
Meskipun demikian, banyak orang juga memahami yang ditemukan oleh Acemoglu dan Robinson itu bukan demokrasi melainkan kualitasi institusi. Mereka menganggap bahwa pertumbuhan a la Tiongkok membuktikan bahwa gerak pembangunan ekonomi dan gerak politik ini tidak serta-merta beriringan.
Namun, temuan Acemoglu, dkk. terbaru menunjukkan pertumbuhan demokrasi mendorong pertumbuhan ekonomi. Penelitiannya telah mempelajari interaksi antara institusi, sistem politik, dan pertumbuhan ekonomi. Untuk melakukan studi khusus ini, mereka meneliti 184 negara pada periode 1960 hingga 2010.
Dalam kurun waktu tersebut, terdapat 122 negara yang mengalami demokratisasi dan 71 negara beralih ke pemerintahan non-demokratis. Mereka mengamati gerak pertumbuhan perekonomian nasional dalam kondisi tersebut. Temuannya adalah negara-negara yang mengalami demokratisasi dalam 60 tahun terakhir melakukannya dalam kondisi ekonomi yang buruk. Oleh karena itu, pertumbuhan di negara-negara demokrasi dimulai dengan lambat. Namun, pada akhirnya mereka mampu pulih dari kondisi tersebut dan dalam jangka panjang, negara-negara yang menolak otoritarianisme akan merasakan pertumbuhan, bukan sebaliknya.
Mereka menemukan bahwa dalam hal pertumbuhan, demokrasi secara signifikan meningkatkan pembangunan: selama periode 25 tahun, negara-negara yang beralih ke pemerintahan demokratis mencapai PDB 20% lebih tinggi dibandingkan jika mereka tetap menjadi negara otoriter.
Kesimpulan
Mitos-mitos kemakmuran di atas bukan hanya menyesatkan, tetapi juga berbahaya. Hal ini mengaburkan peran desain institusi sebagai faktor utama (jika bukan satu-satunya) dalam menentukan hasil kemakmuran. Selain itu, mereka juga mengabaikan faktor historis dan struktural yang menciptakan dan melanggengkan kesenjangan dan tirani.
Pertumbuhan yang tidak inklusif tidak menyelesaikan akar permasalahan dalam kemakmuran itu sendiri. Pertumbuhan dengan kualitas seperti itu hanya menyebabkan konsentrasi kekuasaan pada segilintir kelompok dan kebencian di antara mereka yang tertinggal. Oleh karena itu, penting sekali untuk memastikan kualitas dari pertumbuhan yang ingin dicapai agar masyarakat dapat menikmati kebebasan untuk memaksimalkan potensi mereka.
Referensi:
- Acemoglu & Robinson, “Why Nations Fail”.
- Jared Diamond, “Guns, Germs, and Steel”.
- Acemoglu et.all, “Democracy Does Cause Growth”