Tapal batas yang membelah kota Nogales adalah bagian dari eksperimen alami dalam mengatur masyarakat. Di sebelah utara terhampar kota Nogales, Arizona, Amerika; Di sebelah selatan terhampar kota Nogales, Sonora, Meksiko. Di bagian Amerika, pendapatan rata-rata dan harapan hidup lebih tinggi, kejahatan dan korupsi lebih rendah, kesehatan dan jalanan lebih baik, dan pemilihan umum lebih demokratis. Meskipun kondisi geografis dan susunan etnis di kedua sisi pagarnya serupa. Alasan perbedaan antara kedua Nogales adalah perbedaan institusi politik dan ekonomi AS dan Meksiko saat ini.
Contoh ini menggambarkan subjek buku dalam skala kecil. Kekuasaan, kemakmuran, dan kemiskinan sangat bervariasi di seluruh dunia. Norwegia, negara terkaya di dunia, 496 kali lebih kaya daripada Burundi, negara termiskin di dunia (pendapatan rata-rata per kapita masing-masing $84.290 dan $170, menurut Bank Dunia). Mengapa? Itu adalah pertanyaan mendasar dalam ilmu ekonomi.
Para ekonom memiliki pandangan yang berbeda tentang derajat kepentingan dari kondisi dan faktor yang membuat negara lebih makmur atau lebih miskin. Faktor yang paling sering mereka diskusikan adalah apa yang disebut “institusi yang baik”, yang dapat didefinisikan sebagai hukum dan praktik yang memotivasi orang untuk bekerja keras, menjadi produktif secara ekonomi, dan dengan demikian memperkaya diri mereka sendiri dan negara mereka. Itu adalah dasar dari anekdot Nogales, dan topik utama buku Why Nations Fail. Dikutip dari penulis:
Alasan mengapa Nogales, Arizona, jauh lebih makmur daripada Nogales, Sonora, adalah sederhana: institusi yang sangat berbeda di kedua sisi perbatasan, yang menciptakan insentif yang sangat berbeda bagi penduduk Nogales, Arizona, dan Nogales, Sonora.
Institusi ekonomi yang baik dan memotivasi orang untuk menjadi produktif meliputi perlindungan hak milik pribadi, penegakan kontrak yang dapat diprediksi, peluang untuk berinvestasi dan mempertahankan kendali atas uang mereka, pengendalian inflasi, dan pertukaran mata uang secara terbuka. Misalnya, orang termotivasi untuk bekerja keras jika mereka memiliki kesempatan untuk menginvestasikan pendapatan mereka secara menguntungkan, tetapi tidak jika mereka memiliki sedikit kesempatan seperti itu atau jika pendapatan atau keuntungan mereka kemungkinan akan dirampas.
Pandangan ini didukung oleh eksperimen alami yang melibatkan perbatasan: yaitu pembagian lingkungan dan populasi manusia yang seragam oleh perbatasan politik yang akhirnya memisahkan institusi ekonomi dan politik yang berbeda, yang menciptakan perbedaan dalam kemakmuran. Selain Nogales, Korea Utara dan Korea Selatan, dan Jerman Timur dan Barat adalah contoh kontras lainnya. Sebagian ekonom, seperti Acemoglu dan Robinson, membuat generalisasi dari contoh negara-negara yang berbatasan ini dan menyimpulkan bahwa institusi yang baik juga menjelaskan perbedaan kemakmuran antara negara-negara yang sangat berbeda dalam lingkungan geografis dan populasi manusia.
Tidak dapat dipungkiri bahwa institusi yang baik sangat penting dalam menentukan kemakmuran suatu negara. Tetapi, mengapa beberapa negara berakhir dengan institusi yang baik, sementara yang lain tidak? Faktor terpenting di balik kemunculannya adalah sejarah panjang pemerintahan terpusat (historical duration of centralized government). Sampai munculnya pemerintahan terpusat pertama di dunia sekitar 3400 SM, semua manusia hidup dalam tribalisme, tanpa mengenal pemerintahan yang kompleks. Sejarah panjang pemerintahan terpusat tidak menjamin institusi yang baik, tetapi, setidaknya memungkinkannya; sejarah pemerintahan terpusat yang singkat membuat itu sangat tidak mungkin.
Ironi itu mendasari tragedi negara-negara modern, seperti Papua Nugini, yang masyarakatnya sampai saat ini masih memelihara kesukuan. Perusahaan minyak dan pertambangan di sana membayar royalti untuk tuan tanah lokal melalui kepala desa, tetapi, para kepala desa sering menyimpan royalti tersebut untuk diri mereka sendiri. Itu karena mereka telah menginternalisasi praktik masyarakat mereka di mana para pemimpin klan mengejar kepentingan pribadi dan kepentingan suku mereka sendiri, daripada mewakili kepentingan semua orang.
Berbagai sejarah panjang pemerintahan terpusat di seluruh dunia terkait dengan cara hidup bercocok-tanam (agrikultur) yang merupakan prasyarat bagi munculnya pemerintahan. Misalnya, Eropa mulai bercocok-tanam produktif sejak 9.000 tahun yang lalu dan pemerintahan terpusat setidaknya 4.000 tahun yang lalu, tetapi Afrika sub-sahara baru mulai bercocok-tanam antara 2.000 dan 1.800 tahun yang lalu dan pemerintahan terpusatnya bahkan lebih baru lagi. Perbedaan historis tersebut terbukti memiliki pengaruh besar pada distribusi kemakmuran modern. Ola Olsson dan Douglas Hibbs menunjukkan bahwa, rata-rata, negara-negara di mana agrikultur muncul ribuan tahun yang lalu—misalnya di negara-negara Eropa—saat ini cenderung lebih makmur daripada negara-negara dengan sejarah agrikultur yang lebih pendek (misalnya di negara-negara Afrika sub-sahara). Valerie Bockstette, Areendam Chanda, dan Louis Putterman menunjukkan lebih jauh bahwa, jika seseorang membandingkan negara-negara yang sama-sama miskin lima puluh tahun yang lalu (misalnya Korea Selatan dan Ghana), negara-negara dengan sejarah panjang pemerintahan terpusat (Korea Selatan) rata-rata lebih cepat meraih kemakmuran daripada mereka yang memiliki sejarah lebih pendek (Ghana).
Faktor tambahan di balik asal mula institusi baik yang saya bahas di atas disebut “pembalikan keberuntungan" (the reversal of fortune), dan merupakan pokok bahasan di Bab 9 Why Nations Fail. Di antara negara-negara non-Eropa yang dijajah oleh bangsa Eropa selama lima ratus tahun terakhir, negara-negara yang awalnya lebih makmur dan lebih maju cenderung menjadi lebih miskin saat ini. Negara-negara seperti Peru, Indonesia, dan India yang kaya sumber daya alam dengan populasi penduduk lokal yang besar, dikenalkan institusi ekonomi-politik "ekstraktif" yang korup, seperti kerja paksa dan penyitaan hasil bumi, untuk menguras kekayaan dan tenaga dari penduduk lokal. (Acemoglu dan Robinson mengartikan institusi ekstraktif sebagai praktik dan kebijakan “yang dirancang untuk mengekstraksi pendapatan dan kekayaan dari sebagian besar masyarakat untuk menguntungkan elit yang memerintah.”)
Namun, negara-negara yang terjajah dengan populasi penduduk lokal yang lebih sedikit, seperti Kosta Rika dan Australia, para penjajah Eropa harus bekerja keras sendiri dan mengembangkan institusi baik yang memberi insentif. Ketika negara-negara bekas jajahan meraih kemerdekaan, mereka diwarisi antara "institusi ekstraktif" yang memaksa rakyatnya untuk menghasilkan kekayaan bagi para elit, atau "institusi inklusif" yang dengannya pemerintah berbagi kekuasaan dan memberi insentif ekonomi bagi masyarakatnya. "Institusi ekstraktif" memperlambat pembangunan ekonomi. Sebaliknya, "institusi inklusif" mempromosikannya pembangunan ekonomi.
Faktor lain yang berpengaruh pada kemunculan institusi baik menurut Acemoglu dan Robinson adalah "kutukan sumber daya alam" (the curse of natural resources). Kita secara naif mengharapkan negara-negara yang diberkahi dengan keberlimpahan sumber daya alam (seperti mineral, minyak, dan kayu keras tropis) menjadi lebih makmur daripada negara-negara yang lebih langka sumber daya alamnya. Padahal, trennya justru berkebalikan, akibat dari banyaknya ketergantungan nasional pada jenis sumber daya alam tertentu (seperti berlian dan minyak), mereka cenderung mendorong institusi yang buruk, seperti korupsi, perang saudara, inflasi, dan pengabaian pendidikan.
Sebuah contoh, yang disebutkan dalam Bab 12, adalah diamond boom di Sierra Leone, yang berpengaruh pada kemiskinan negara itu. Contoh lain adalah kemiskinan di Nigeria dan Kongo meskipun masing-masing kaya akan minyak dan mineral. Dalam ketiga kasus tersebut, pemimpin diktator atau elit yang egois menemukan bahwa mereka sendiri dapat menjadi lebih kaya dengan mengambil keuntungan dari sumber daya alam untuk keuntungan pribadi mereka, daripada mendistribusikan kekayaan untuk bangsa mereka. Tetapi beberapa negara dengan pemimpin atau warga negara yang bijaksana menghindari kutukan sumber daya alam dengan menginvestasikan keuntungannya dalam pembangunan ekonomi dan pendidikan. Contohnya adalah Norwegia sebagai negara produsen minyak yang makmur di dunia dan Trinidad & Tobago sebagai negara produsen minyak yang menikmati pendapatan yang mendekati pendapatan Inggris, mantan penguasa kolonialnya.
Itu adalah aspek-aspek utama dari faktor institusional yang mempengaruhi asal usul kekuasaan, kemakmuran, kemiskinan. Faktor lainnya adalah faktor geografis dengan konsekuensi ekonomi langsung yang tidak dimediasi oleh institusi. Salah satu faktor geografis tersebut muncul dari peta dunia dalam Why Nations Fail yang menggambarkan pendapatan nasional. Di peta itu, baik Afrika maupun Amerika menyerupai sandwich selai kacang, dengan inti tebal negara-negara tropis miskin yang terjepit di antara dua irisan tipis negara-negara kaya di zona beriklim sedang utara dan selatan.
Di benua Amerika, dua negara beriklim sedang di utara (AS dan Kanada, pendapatan rata-rata masing-masing $47.390 dan $43.270) dan tiga negara beriklim sedang di selatan (Uruguay, Chili, dan Argentina, masing-masing $10.590, $10.120, dan $8.620) semuanya lebih kaya—di atas rata-rata lima kali lebih kaya—daripada hampir tujuh belas negara tropis di daratan Amerika Tengah dan Selatan (pendapatan sebagian besar antara $1.110 dan $6.970). Demikian pula, benua Afrika terdiri dari tiga puluh tujuh negara tropis yang sebagian besar sangat miskin, diapit oleh dua irisan tipis yang masing-masing terdiri dari lima negara yang cukup makmur atau kurang miskin di zona utara dan selatan Afrika.
Dua faktor utama yang berkontribusi terhadap kemiskinan negara-negara tropis dibandingkan dengan negara-negara beriklim sedang adalah penyakit dan produktivitas agrikultur. Daerah tropis terkenal tidak sehat. Pertama, ada jauh lebih banyak parasit (seperti kaki gajah dan schistosomiasis) di daerah tropis, sementara musim dingin yang dingin mampu membunuh parasit. Kedua, vektor penyakit, seperti nyamuk dan kutu, jauh lebih beragam di daerah tropis daripada di daerah beriklim sedang.
Akhirnya, pengembangan vaksin terhadap penyakit menular utama di daerah beriklim sedang juga lebih mudah daripada penyakit tropis; kita masih belum menemukan vaksin melawan malaria, meskipun miliaran dolar telah diinvestasikan. Oleh karena itu, penyakit tropis membebani ekonomi negara-negara tropis. Pada saat tertentu, sebagian besar penduduk sakit dan tidak dapat bekerja. Banyak wanita di daerah tropis tidak dapat bekerja karena mereka harus menyusui dan merawat bayi yang dikandung sebagai jaminan terhadap kematian beberapa anak mereka yang lebih tua akibat malaria.
Adapun soal produktivitas agrikultur, daerah tropis rata-rata lebih rendah daripada di daerah beriklim sedang. Pertama, tanaman beriklim sedang menyimpan lebih banyak energi di bagian yang dapat dimakan manusia (seperti biji dan umbi-umbian) daripada tanaman tropis. Kedua, penyakit yang dibawa oleh serangga dan hama lainnya mengurangi hasil panen lebih banyak di daerah tropis daripada di daerah beriklim sedang, karena hama lebih beragam dan bertahan hidup lebih baik sepanjang tahun di daerah tropis daripada di daerah beriklim sedang. Ketiga, gletser berulang kali maju dan mundur di daerah beriklim sedang, menciptakan tanah muda yang kaya nutrisi. Daerah dataran rendah tropis belum mengalami glasiasi dan karenanya cenderung memiliki tanah yang lebih tua, yang kehilangan nutrisinya oleh hujan selama ribuan tahun. (Tanah vulkanik dan aluvial muda yang subur adalah pengecualian.) Keempat, curah hujan rata-rata yang lebih tinggi di daerah tropis daripada di daerah beriklim sedang menghasilkan lebih banyak nutrisi yang tercuci keluar dari tanah oleh hujan.
Akhirnya, suhu tropis yang lebih tinggi menyebabkan daun-daun mati dan bahan organik lainnya yang jatuh ke tanah dipecah dengan cepat oleh mikroba dan organisme lain, melepaskan nutrisi mereka untuk dicuci. Oleh karena itu, di daerah beriklim sedang, kesuburan tanah rata-rata lebih tinggi, kehilangan panen karena hama lebih rendah, dan produktivitas pertanian lebih tinggi daripada di daerah tropis. Itulah sebabnya Argentina di zona beriklim sedang di selatan Amerika Selatan, meskipun tidak memiliki sejarah panjang institusi yang baik, adalah pengekspor makanan terkemuka di Amerika Latin, dan salah satu yang terkemuka di dunia.
Dengan demikian, garis lintang geografis yang bertindak secara independen dari institusi merupakan faktor geografis penting yang mempengaruhi kekuasaan, kemakmuran, dan kemiskinan. Faktor geografis penting lainnya adalah akses laut atau sungai yang dapat dilayari. Biayanya kira-kira tujuh kali lebih banyak untuk mengirim satu ton kargo melalui darat daripada melalui laut. Itu menempatkan negara-negara yang terkurung daratan (landlocked countries) pada kerugian ekonomi, dan membantu menjelaskan mengapa Bolivia yang terkurung daratan dan Paraguay yang semi-terkurung daratan adalah negara-negara termiskin di Amerika Selatan. Ini juga membantu menjelaskan mengapa Afrika, tanpa sungai yang dapat dilayari ke laut sejauh ratusan mil kecuali Sungai Nil, dan dengan lima belas negara yang terkurung daratan, adalah benua termiskin. Sebelas dari lima belas negara Afrika yang terkurung daratan memiliki pendapatan rata-rata $600 atau kurang; hanya dua negara di luar Afrika (Afghanistan dan Nepal, keduanya juga terkurung daratan) yang sama miskin.
Faktor utama yang tersisa yang mendasari kekayaan dan kemiskinan adalah kelestarian alam. Semua populasi manusia bergantung pada tingkat yang berbeda-beda pada sumber daya alam terbarukan—terutama pada hutan, air, tanah, dan makanan laut. Sulit untuk mengelola sumber daya seperti itu secara berkelanjutan. Negara-negara yang menghabiskan sumber dayanya secara berlebihan—baik secara tidak sengaja atau sengaja—cenderung memiskinkan diri mereka sendiri, meskipun sulitnya memperkirakan secara akurat biaya perusakan sumber daya menyebabkan para ekonom mengabaikannya. Ini membantu menjelaskan mengapa negara-negara yang terkenal mengalami deforestasi—seperti Haiti, Rwanda, Burundi, Madagaskar, dan Nepal—cenderung terkenal miskin dan tidak stabil secara politik.
Itu adalah faktor-faktor utama yang digunakan untuk memahami mengapa negara-negara berbeda dalam kemakmuran. Faktornya banyak dan beragam. Kita semua tahu, dari pengalaman pribadi kita, bahwa tidak ada satu jawaban sederhana untuk pertanyaan mengapa kita masing-masing menjadi lebih makmur atau lebih miskin: itu tergantung pada warisan, pendidikan, ambisi, bakat, kesehatan, koneksi pribadi, peluang, dan keberuntungan, hanya untuk menyebutkan beberapa faktor.
Dalam kerangka ini, Acemoglu dan Robinson berfokus pada faktor institusional: awalnya pada institusi ekonomi, dan kemudian pada institusi politik yang menciptakannya. Dikutip dari keduanya, “sementara institusi ekonomi sangat penting untuk menentukan apakah suatu negara miskin atau makmur, itu adalah politik dan institusi politik yang menentukan institusi ekonomi apa yang dimiliki suatu negara.” Secara khusus, mereka menekankan apa yang mereka sebut sebagai institusi ekonomi-politik inklusif: “institusi ekonomi inklusif… adalah institusi yang memungkinkan dan mendorong partisipasi banyak orang dalam kegiatan ekonomi yang memanfaatkan bakat dan keterampilan mereka sebaik mungkin dan yang memungkinkan individu untuk membuat pilihan yang mereka inginkan.” Misalnya, di Korea Selatan, orang bisa mendapatkan pendidikan yang baik, memiliki properti, memulai bisnis, menjual produk dan jasa, mengumpulkan dan menginvestasikan modal, membelanjakan uang di pasar terbuka, mengambil hipotek untuk membeli rumah, dan dengan demikian mengharapkan bahwa dengan bekerja lebih keras mereka dapat menikmati kehidupan yang baik, tetapi hal itu tidak bisa terjadi di Korea Utara.
Institusi ekonomi inklusif seperti itu pada gilirannya muncul dari “institusi politik yang mendistribusikan kekuasaan secara luas di masyarakat dan membuatnya dibatasi…. Alih-alih dimiliki oleh satu individu atau kelompok kecil, kekuatan politik [inklusif] terletak pada koalisi yang luas atau pluralitas kelompok.” Korea Selatan baru-baru ini, dan Inggris serta AS yang dimulai jauh lebih awal, memang memiliki partisipasi luas warga negara dalam demokrasi; Korea Utara tidak. Institusi ekonomi-politik yang inklusif memberikan insentif kepada individu untuk meningkatkan produktivitas ekonomi mereka menurut pendapat mereka yang terbaik. Institusi inklusif semacam itu harus dikontraskan dengan institusi politik absolut yang secara sempit memusatkan kekuasaan politik, dan dengan institusi ekonomi ekstraktif yang memaksa orang untuk bekerja sebagian besar demi keuntungan para diktator. Perkembangan terakhir dari institusi politik inklusif hingga saat ini adalah dalam demokrasi Skandinavia modern dengan hak pilih universal dan masyarakat yang relatif egaliter. Namun, dibandingkan dengan kediktatoran modern (seperti Korea Utara) dan monarki absolut yang tersebar luas di masa lalu, masyarakat (seperti Inggris abad kedelapan belas) di mana hanya sebagian kecil warganya yang dapat memilih atau berpartisipasi dalam keputusan politik masih merupakan kemajuan besar menuju inklusivitas. .
Dari dikotomi yang mencolok ini, Acemoglu & Robinson menarik kesimpulan yang menggugah pemikiran. Meskipun rezim absolut dengan institusi ekonomi ekstraktif terkadang dapat mencapai pertumbuhan ekonomi, pertumbuhan itu didasarkan pada teknologi yang usang, dan tidak berkelanjutan serta rapuh; sedangkan institusi inklusif diperlukan untuk pertumbuhan berkelanjutan berdasarkan perubahan teknologi. Kita secara naif berharap diktator untuk mendorong pertumbuhan ekonomi jangka panjang, karena pertumbuhan tersebut akan menghasilkan lebih banyak kekayaan bagi mereka untuk diekstraksi. Tetapi upaya itu akan gagal, karena apa yang baik secara ekonomi untuk masyarakat secara individu mungkin buruk bagi elit politik, dan karena pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan hanya mungkin didorong oleh institusi politik yang akan menggoyahkan kekuasaan status quo.
Why Nations Fail menawarkan studi kasus untuk mengilustrasikan poin-poin ini: kebangkitan ekonomi dan kejatuhan Uni Soviet dan Kekaisaran Ottoman; perlawanan Rusia Tsar dan Kekaisaran Habsburg untuk membangun rel kereta api karena takut akan merusak kekuatan aristokrat dan mendorong revolusi; dan, khususnya relevan saat ini, kemungkinan prospek pertumbuhan masa depan Tiongkok yang bagi Acemoglu dan Robinson, “akan kehabisan tenaga.”
Namun, dalam fokus sempit mereka pada lembaga inklusif, mereka mengabaikan faktor-faktor lain. Saya sebutkan sebelumnya efek dari suatu daerah yang terkurung daratan (landlocked) atau kerusakan lingkungan, faktor-faktor yang tidak mereka diskusikan. Bahkan dalam fokus pada institusi, konsentrasi secara khusus pada institusi inklusif menyebabkan meraka memberikan penjelasan yang tidak memadai tentang bagaimana sumber daya alam dapat menjadi kutukan. Benar, buku ini memberikan anekdot tentang kutukan sumber daya (Sierra Leone dikutuk oleh berlian), dan bagaimana kutukan itu berhasil dihindari (di Botswana). Tetapi buku itu tidak menjelaskan sumber daya mana yang secara khusus cocok untuk kutukan dan mengapa. Buku ini juga tidak menunjukkan bagaimana beberapa produsen sumber daya besar seperti AS dan Australia menghindari kutukan (mereka adalah negara demokrasi yang ekonominya bergantung pada banyak hal lain selain ekspor sumber daya), atau negara-negara lain yang bergantung pada sumber daya selain Sierra Leone dan Botswana yang masing-masing menyerah atau mengatasi kutukan. Bab tentang pembalikan keberuntungan (the reversal of fortune) secara mengejutkan tidak menyebutkan temuan menarik tentang bagaimana tingkat pembalikan bergantung pada kemakmuran sebelumnya dan pada ancaman kesehatan bagi orang Eropa.
Dua faktor utama yang disebutkan Acemoglu dan Robinson, hanya penyakit tropis dan produktivitas pertanian tropis:
Penyakit tropis jelas menyebabkan banyak penderitaan dan tingkat kematian bayi yang tinggi di Afrika, tetapi itu bukanlah alasan mengapa Afrika miskin. Penyakit sebagian besar merupakan konsekuensi dari kemiskinan dan pemerintah tidak mampu atau tidak mau melakukan tindakan kesehatan yang diperlukan untuk memberantasnya…. Penentu utama mengapa produktivitas pertanian—hasil pertanian per acre—sangat rendah di banyak negara miskin, khususnya di Afrika sub-Sahara, tidak ada hubungannya dengan kualitas tanah. Sebaliknya, ini adalah konsekuensi dari struktur kepemilikan tanah dan insentif yang diciptakan untuk petani oleh pemerintah dan lembaga di mana mereka tinggal.
Pernyataan-pernyataan ini akan mencengangkan siapa pun yang memiliki pengetahuan tentang subjek ini, yaitu kedokteran tropis dan ilmu pertanian. Seperti yang saya rangkum di atas, fakta umum bahwa biologi tropis, geologi, dan klimatologi membebani negara-negara tropis dengan masalah yang jauh lebih besar daripada negara-negara beriklim sedang.
Kelemahan kedua melibatkan asal-usul historis dari apa yang diidentifikasi Acemoglu dan Robinson sebagai institusi ekonomi dan politik yang inklusif, dengan konsekuensinya terhadap kemakmuran. Beberapa negara, seperti Inggris dan Jepang, memiliki lembaga seperti itu, sementara negara lain, seperti Ethiopia dan Kongo, tidak. Untuk menjelaskan alasannya, mereka memberikan cerita yang menyederhanakan sejarah masing-masing negara, yang diakhiri dengan menyimpulkan bahwa cerita itu menjelaskan mengapa negara itu mengembangkan atau tidak mengembangkan institusi yang baik. Misalnya, Inggris mengadopsi institusi inklusif, menurutnya, sebagai akibat dari Revolusi Agung 1688 dan peristiwa-peristiwa sebelumnya; dan Jepang mereformasi institusinya setelah tahun 1868; tetapi Etiopia tidak. Pandangan Acemoglu dan Robinson tentang sejarah bahwa efek kecil pada saat-saat kritis memiliki efek jangka panjang yang sulit diprediksi (critical junctures). Meskipun mereka tidak mengatakannya secara eksplisit, pandangan ini menunjukkan bahwa institusi yang baik seharusnya muncul secara acak di seluruh dunia, tergantung pada siapa yang memutuskan apa di tempat dan waktu tertentu.
Tetapi jelas bahwa institusi yang baik, dan kemakmuran serta kekuasaan yang mereka hasilkan, tidak muncul secara acak. Misalnya, semua negara Eropa Barat menjadi lebih kaya dan memiliki institusi yang lebih baik daripada negara tropis Afrika mana pun. Adanya perbedaan mendasar menyebabkan perbedaan hasil ini. Eropa telah memiliki sejarah panjang (hingga sembilan ribu tahun) domestikasi tanaman dan hewan peliharaan paling produktif di dunia, keduanya didomestikasi dan diperkenalkan ke Eropa dari Bulan Sabit Subur (Fertile Crescent). Agrikultur di Afrika tropis hanya berusia antara 1.800 dan 5.000 tahun dan didasarkan pada tanaman domestik yang kurang produktif dan hewan impor.
Akibatnya, Eropa memiliki pengalaman hingga empat ribu tahun pemerintahan yang kompleks dan identitas nasional yang berkembang, dibandingkan dengan beberapa abad atau kurang untuk semua Afrika sub-Sahara. Eropa memiliki tanah subur gletser, curah hujan musim panas yang andal, dan sedikit penyakit tropis; Afrika tropis memiliki tanah yang tidak berglasir dan sangat tidak subur, curah hujan yang kurang dapat diandalkan, dan banyak penyakit tropis. Di Eropa, Inggris memiliki keuntungan karena menjadi pulau yang sulit diserang kekuatan asing, dan menghadap ke Samudra Atlantik, yang menjadi terbuka setelah 1492 untuk perdagangan luar negeri.
Seharusnya tidak mengherankan bahwa negara-negara dengan kelebihan itu menjadi makmur dan memiliki institusi yang baik, sementara negara-negara dengan kekurangan itu tidak. Rantai sebab-akibat yang mengarah perlahan dari agrikultur produktif ke pemerintahan, pembentukan negara, institusi kompleks, dan kemakmuran yang melibatkan ledakan populasi dan surplus pangan, yang pada gilirannya mengarah pada kebutuhan pengambilan keputusan terpusat dalam masyarakat yang terlalu padat dan menggunakan surplus makanan untuk mendukung raja dan birokrat mereka. Proses ini berlangsung secara independen, dimulai sekitar 3400 SM, di berbagai belahan dunia kuno dengan agrikultur produktif, termasuk Bulan Sabit Subur, Mesir, Cina, Lembah Indus, Kreta, Lembah Meksiko, Andes, dan Polinesia Hawaii.
Kelemahan yang tersisa adalah keduanya menggunakan pernyataan yang tidak didukung atau bertentangan dengan fakta. Contohnya adalah upaya mereka untuk memperluas fokus mereka pada institusi untuk menjelaskan asal usul agrikultur. Semua manusia pada awalnya adalah pemburu/pengumpul yang secara mandiri menjadi petani hanya di sekitar sembilan wilayah kecil yang tersebar di seluruh dunia. Satu abad penelitian oleh ahli botani dan arkeolog telah menunjukkan bahwa apa yang membuat daerah tersebut luar biasa adalah kekayaan spesies tumbuhan dan hewan liar yang cocok untuk domestikasi (seperti gandum liar dan jagung).
Dalam Bab 5 mereka, Acemoglu dan Robinson menegaskan tanpa bukti sama sekali bahwa pemburu/pengumpul tertentu menetap untuk mengembangkan institusi inovatif melalui revolusi politik. Mereka menegaskan lebih lanjut bahwa asal mula agrikultur bergantung pada penjelasan tentang inovasi institusi, daripada pada ketersediaan bahan pangan dan hewan yang dapat didomestifikasi, yang telah diidentifikasi oleh ahli botani dan arkeolog.
Di antara argumen untuk menyangkal interpretasi yang dibagikan secara luas itu, Acemoglu dan Robinson menggambar ulang di Peta 5 mereka di halaman 56, peta di halaman 56 dan 66 dari buku arkeobotani Daniel Zohary dan Maria Hopf, Domestication of Plants in the Old World, yang menggambarkan distribusi jelai liar dan dari salah satu dari dua nenek moyang hibrida dari salah satu dari tiga gandum (yang Acemoglu dan Robinson salah mengidentifikasi hanya sebagai "gandum"). Mereka menganggap peta ini berarti bahwa "nenek moyang jelai dan gandum didistribusikan sepanjang wilayah di luar Bulan Sabit Subur, oleh karena itu peran unik Bulan Sabit Subur dalam asal-usul pertanian "tidak ditentukan oleh ketersediaan spesies tumbuhan dan hewan."
Apa yang sebenarnya ditunjukkan Zohary dan Hopf adalah bahwa gandum emmer liar terbatas pada Bulan Sabit Subur, dan bahwa area penyebaran luas dari jelai liar dan gandum einkorn liar juga terbatas pada Bulan Sabit Subur, dan bahwa nenek moyang liar dari semua tanaman asli lainnya Tanaman Bulan Sabit Subur juga dibatasi atau dipusatkan di Bulan Sabit Subur, dan karenanya Bulan Sabit Subur adalah satu-satunya daerah di mana pertanian lokal bisa muncul. Acemoglu dan Robinson merugikan diri mereka sendiri dengan salah menyatakan temuan ini.
Penilaian saya secara keseluruhan terhadap argumen penulis adalah bahwa institusi inklusif, meskipun bukan penentu kemakmuran yang mereka klaim, merupakan faktor penting. Mungkin mereka memberikan 50 persen penjelasan tentang perbedaan kemakmuran negara. Ketika sebagian besar tulisan para ekonom tidak dapat dipahami oleh masyarakat awam, Acemoglu dan Robinson telah menulis Why Nations Fail agar dapat dipahami dan dinikmati oleh kita semua yang bukan ekonom.
Why Nations Fail harus menjadi bacaan wajib bagi para politisi dan siapa pun yang peduli dengan pembangunan ekonomi. Diskusi para penulis tentang apa yang bisa dan tidak bisa dilakukan hari ini untuk memperbaiki kondisi di negara-negara miskin mampu menggugah pikiran dan memicu perdebatan. Lembaga donor dan organisasi internasional mencoba untuk "merekayasa kemakmuran" baik dengan bantuan asing atau dengan mendesak negara-negara miskin untuk mengadopsi kebijakan ekonomi. Tetapi ada kekecewaan yang meluas dengan hasil dari upaya yang bermaksud baik ini. Acemoglu dan Robinson dengan cermat mendiagnosis penyebab dari hasil yang mengecewakan ini dalam bab terakhir mereka: “Berusaha merekayasa kemakmuran tanpa menghadapi akar penyebab masalah—institusi ekonomi-politik ekstraktif yang mempertahankannya—tidak mungkin membuahkan hasil.
*Jared Diamond adalah seorang profesor geografi di University of California, Los Angeles (UCLA) dan penulis buku Guns, Germs, and Steel (1997).
**Artikel ini adalah terjemahan dari tulisan Jared Diamond di The New York Review of Books berjudul "What Makes Countries Rich or Poor?", edisi 7 Juni 2012. Diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia demi tujuan rekreasi pikiran semata.