Terbentuknya BRICS (Brazil, Russia, Indonesia, China, South Africa) dan populernya istilah-istilah lain seperti The Rise of the Rice, The Rise of the Rest, dan lain sebagainya digunakan untuk menggambarkan dinamika ekonomi-politik internasional yang memunculkan kekuatan ekonomi baru.
Tema ini menjadi kajian utama dalam buku tipis karya Hidalgo dalam perspektif liberal. Hidalgo mencoba untuk menjawab tiga pertanyaan penting untuk membedah kemunculan fenomena ini: Apa yang membuat satu dekade yang lalu menjadi titik balik perekonomian negara-negara berkembang? Manakah yang menjadi faktor utama dibalik pertumbuhan mereka, apakah “Faktor Tiongkok”? Atau pasar bebas? Dan apa yang seharusnya dilakukan negara berkembang untuk mengatasi tren perlambatan ekonomi global?
***
Sebelum fokus pada bagaimana Hidalgo menjawab ketiga pertanyaan di atas, saya akan sedikit membahas beberapa pemikir yang juga berkontribusi dalam diskursus ini.
Pertama, Samuel Huntington dalam artikelnya yang berjudul The Fading of the West: Power, Culture, and Indigenisation”, yang juga dikutip dalam buku di atas, melihat fenomena ini sebagai sebuah siklus yang berulang.
Ia memiliki pandangan terhadap dunia setelah Perang Dingin. Pertama, Amerika Serikat dan negara Barat lainnya tetap menjadi kekuatan utama secara politik, keamanan, maupun ekonom. Kedua, dominasi ini sampai pada titik tertentu akan menimbulkan kelelahannya sendiri.
Kelelahan yang dimaksud oleh Huntington dapat dilihat dapat perspektif ekonomi dalam bentuk perlambatan ekonomi. Tidak ada yang mengagetkan dalam proses ini. Dalam jangka panjang, sebuah negara yang telah mengalami pertumbuhan signifikan cenderung akan mengalami perlambatan. Perlambatan ini bisa disebabkan oleh berbagai hal. Dalam kasus Tiongkok, bahkan berkurangnya penduduk usia produktif mampu menjadi salah satu penyebab perlambatan ekonomi.
Huntington melihat pola ini untuk menjelaskan bagaimana negara-negara berkembang di Asia, Afrika, dan Amerika Latin muncul sebagai kekuatan ekonomi baru dalam percaturan global.
Menurut saya, meskipun mampu memberikan perspektif historis dalam melihat dinamika ekonomi-politik internasional, tesis Huntington memiliki kelemahan. Pola sejarah yang berulang tidak mampu menjawab pertanyaan mendasar seperti, “Mengapa Tiongkok? Mengapa bukan negara seperti Ekuador yang muncul sebagai kekuatan ekonomi baru?”
Selain itu, tesis siklus Huntington mengasumsikan percaturan ekonomi-politik internasional sebagai wahana dengan aturan main zero-sum. Kemunculan kekuatan ekonomi baru di satu sisi mengakibatkan kejatuhan status quo. Asumsi ini selain bias ideologis, juga membawa persaingan ekonomi menjadi persaingan politik dan militer.
***
Dalam buku The Post-American World, Fareed Zakaria turut berkontribusi dengan memberikan pandangan yang berbeda dengan Huntington dalam diskursus ini. Meskipun tesisnya tidak juga mampu menjawab pertanyaan tentang, “Mengapa Tiongkok?”, Zakaria melihat kebangkitan yang lain dengan simpatik.
Menurut Zakaria, the rise of the rest tidak menjelaskan kemunduran Amerika Serikat, melainkan tentang kebangkitan yang lain. Saya agak setuju dengannya, dunia paska-Amerika ini sangat tepat untuk menggambarkan sistem multipolar setelah Perang Dingin.
Menurutnya kita sedang melalui pergeseran kekuatan besar ketiga dalam sejarah modern, setelah kebangkitan dunia Barat dan kebangkitan Amerika Serikat. Multipolaritas yang saat ini terjadi merupakan buah dari globalisasi. Zakaria mengasumsikan bahwa dunia paska-Amerika yang multipolar adalah sebuah tujuan dari semangat kebebasan dan kemajuan.
Dalam perdebatan antagonistik antara kekuatan status-quo dan kekuatan revisionis yang tiada habisnya, Zakaria memberikan perspektif yang segar untuk menjelaskan tata cara dan apa artinya hidup di era yang benar-benar global.
***
Hidalgo membaca fenomena ini dengan perspektif ekonomi liberal. Menurutnya kemunculan negara-negara berkembang sebagai kekuatan ekonomi baru menghadirkan perspektif dan tantangan tersendiri. Ia melihat bahwa bermunculannya negara-negara dunia ketiga sebagai kekuatan ekonomi baru tidak terlepas dari keterbukaan ekonomi dengan warnanya sendiri.
Karakteristik khusus dari keterbukaan ekonomi yang diusung oleh negara-negara dunia ketiga inilah yang kemudian memberikan banyak pertanyaan.
Beijing Consensus
Pertumbuhan ekonomi Tiongkok telah menjadi catatan sejarah kemajuan manusia yang luar biasa setelah memberlakukan keterbukaan ekonomi sejak 1979 di bawah kepemimpinan Deng Xiaoping. Episode sejarah ini tidak terlepas dari Beijing Consensus. Sejak mengusung keterbukaan ekonomi, Tiongkok mencapai pertumbuhan ekonomi sebesar dua digit dan berhasil membawa ratusan juta penduduknya keluar dari kemiskinan.
Beijing Consensus menjadi antitesa dari Washington Consensus yang didorong Barat sebagai satu-satunya aturan main dalam ekonomi global.
Tiongkok dengan Beijing Consensus-nya dianggap mampu menjadi peta jalan alternatif dalam mendorong pertumbuhan ekonomi negara-negara berkembang. Alternatif ini dianggap memberikan jalan tengah bagi negara-negara berkembang yang masih memiliki tantangannya sendiri.
Beijing Consensus membawa Tiongkok menjadi kekuatan ekonomi baru. Namun, keterbukaan ekonomi yang diusung tidak dibarengi oleh kebebasan sosial-politik dalam negeri.
Bagi Hidalgo, kebangkitan negara-negara berkembang a la Tiongkok akan memunculkan tantangan soal bagaimana pertumbuhan ekonomi negara-negara berkembang sejalan dengan peningkatan kebebasan individu. Sebab, dalam perspektif liberal, kedua hal ini menjadi dua wajah koin yang tidak bisa dipisah. Kemunculan kekuatan ekonomi baru dengan warnanya sendiri memberikan tantangan bagi ide kebebasan dan kesetaraan yang mereka usung. Oleh karena itu, kritik Barat terhadap kebangkitan Tiongkok selalu diarahkan pada persoalan demokratisasi sitem politik domestik.
Boom Commodity
Sumber-sumber kekuatan ekonomi baru tersebar di benua Asia, Afrika, dan Amerika Latin. Negara-negara tersebut mencerminkan pola pertumbuhan yang hampir serupa satu sama lain yaitu pertumbuhan yang dinikmati setelah reformasi yang mereka terapkan pada kisaran tahun 1980-an hingga 1990-an dan atau memperolah manfaat dari kenaikan tinggi harga komoditas global (boom commodity).
Peran lonjakan harga bahan baku sangat penting pada decade yang disebut sebagai Dekade Keemasan (Golden Decade). Pada tahun antara 2003-2008, rata-rata komoditas meningkat 75 persen dibandingkan lima tahun sebelumnya. Industri ekstraktif dan pertanian menjadi mesin pertumbuhan di banyak negara-negara Amerika Latin, Afrika, dan Asia Tenggrara.
Faktor Tiongkok
Faktor Tiongkok dibahas secara spesifik oleh hidalgo dalam buku ini. Mengapa Tiongkok begitu penting? Pertama, kebangkitan Tiongkok mengawali kebangkitan negara-negara berkembang yang lain. Kebangkitan pertumbuhan Tiongkok merupakan kisah pertumbuhan paling sukses dengan pertumbuhan rata-rata 9,7 persen per tahun antara tahun 1981-20012. Kedua, negara-negara yang pertumbuhannya terdorong oleh Tiongkok sedang mencari jalan keluar agar tidak ikut melambat seiring perlambatan ekonomi yang dialami oleh Tiongkok. Ketiga, kebangkitan negara-negara berkembang a la Tiongkok dianggap Hidalgo sebagai masalah itu sendiri.
***
Penutup
Buku tipis karya Hidalgo menambah perbendaharaan pengetahuan saya dalam tema kebangkitan negara-negara dunia ketiga. Meskipun ia tidak menyediakan analisis mendalam untuk tema yang dibahas, buku ini mampu memantik rasa ingin tahu pembaca untuk mengeksplorasi tiga pertanyaan yang diajukan Hidalgo di awal.
Buku ini layak dibaca sebagai pengantar untuk memahami kajian atas negara-negara berkembang. Hidalgo mampu menjembatani pembaca awam seperti saya kepada kajian ini. Selain itu, perspektif yang dibawa oleh Hidalgo juga memberikan kejernihan bagi para pembaca untuk mengetahui bagaimana pandangan liberalisme dalam memahami dinamika ekonomi-politik internasional.