Kita perlu mengakui bahwa manusia seharusnya merupakan bagian dari alam. Manusia juga lah yang nyatanya merusak ekosistem lain di alam ini.
Krisis lingkungan yang berlangsung di sekitar kita dan terus berlanjut sampai hari ini, sangat membahayakan bagi setiap orang yang hidup saat ini maupun masa depan. Ada banyak sekali penjelasan tentang mengapa bencana ini bisa terjadi. Mulai dari kecenderungan sifat manusia yang merusak lingkungan, kepadatan penduduk hingga obsesi manusia pada pertumbuhan ekonomi.
Di Indonesia, pengalihan besar-besaran hutan menjadi perkebunan sawit dan tambang untuk batubara, emas dan mineral lainnya ikut berkontribusi bagi krisis lingkungan.
Pengalihan lahan ini berdampak buruk bagi satwa liar, tumbuhan dan manusia. Juga, menyumbang banyak kenaikan CO2 di atmosfer dan polutan-polutan lain di udara, yang tentu memiliki efek samping sosial dan lingkungannya.
Praktik-praktik tersebut digerakan oleh sistem yang mengakumulasikan laba tanpa akhir. Dan inilah yang menjadi inti persoalannya. Konsekuensi dari obsesi akumulasi laba tersebut telah mencapai taraf yang mengkhawatirkan dan tak boleh biarkan berlarut.
Photo by Chandra Septian |
Kita telah dihadapkan pada dua kenyataan. Pertama, perubahan iklim dan bentuk-bentuk kerusakan lingkungan lainnya. Kedua, kebutuhan mendesak untuk merevolusi hubungan antara manusia dan bumi.
Kaum muda Indonesia, kini semakin banyak yang sadar atas adanya krisis iklim. Para aktivitis lingkungan atau bukan, mereka telah mengambil langkah-langkah kecil serta lebih banyak lagi untuk keberlanjutan planet kita. Kita dapat mengoptimalkan momentum ini dengan bergabung bersama solidaritas internasional dalam menciptakan peradaban ekologi baru.
Kita, generasi muda, memiliki solusi jangka panjang dan pendek dalam mengatasi isu ini, seperti perubahan gaya hidup masyarakat, meregulasi kebijakan ekonomi yang berkeadilan lingkungan sampai mendorong perbaikan transportasi publik dan ruang terbuka hijau. Semuanya harus didorong oleh aksi yang dapat dilakukan melalui organisasi perjuangan lingkungan hidup, maupun membuat perjuangan mengatasi krisis iklim sebagai bagian dari kehidupan berorganisasi dan bermasyarakat kita.
Krisis iklim bukan hanya persoalan para ilmuwan dan insinyur semata. Telah tiba waktunya bagi kaum muda sebagai individu untuk mulai membicarakan isu ini melalui media massa untuk memproduksi ide-ide peradaban ekologi baru. Media massa saat ini menjadi medan perjuangan ideologis yang paling demokratis untuk menyadarkan masyarakat, bahwa hubungan antara manusia dan bumi saat ini sedang menuntun kita ke arah bencana. Berbagai cara dapat kita lakukan. Misalnya, mengkampanyekan perilaku peduli lingkungan sehari-hari, seperti menghemat penggunaan kantung plastik, menggunakan transportasi umum, dan lain-lain.
Selain itu, dibutuhkan juga gerakan sosial-politik yang kuat untuk memperjuangkan langkah-langkah menyelamatkan bumi dan manusia. Gerakan massif tersebut dapat ditujukan salah satunya untuk mendorong pemerintah menyediakan kebutuhan energi dengan tenaga angin, matahari dan menyudahi penggunaan bahan bakar fosil yang tidak ramah lingkungan.
Inilah yang diperlukan bagi masyarakat baru yang menurut Fred Magdoff dan John Bellamy Foster, yaitu masyarakat yang beroperasi dengan bekerja sebagai mitra bagi organisme-organisme lain dari ekosistem sembari merawat bumi dan mengembangkan pembangunan manusia berkelanjutan. Kondisi ini perlu dengan menggarisbawahi adanya pemutusan dari sistem yang digerakan oleh akumulasi laba dan eksploitasi besar-besaran terhadap manusia dan bumi yang tak berkeputusan.
*Artikel ini menjadi salah satu pemenang kompetisi cerita foto yang diselenggarakan oleh 350.org Indonesia untuk mengikuti Switch Camp (Pelatihan kampanye anak muda untuk mengatasi krisis iklim global) di Bali, 16-21 Agustus 2019.